Friday, November 9, 2007

Mensyukuri Baldatun Thayyibah

Sedikitnya ada tiga statemen yang sering kita dengar dari pejabat / pimpinan parpol yang hendak dicapai dalam perjuangannya. Yang umum “ Masyarakat Adil dan Makmur”, Yang dipraktekkan Rasul dan Khalifah Abu Bakar dan Umar, “Masyarakat Madani “, dan yang tertulis dalam Al-Quran sebagai kesejahteraan masa lalu adalah “Baldatun Thayyibah Wa Rabbun Ghafur ”. Ketiga istilah itu semuanya berasal dari Bahasa Arab.

Yang akan dibahas dalam uraian singkat Jumat ini ialah yang tertulis dalam Al-Quran, sebagai gambaran suatu kemakmuran suatu bangsa.

Makna :
Sebelum menjelaskan gambaran kemakmuran, perlu kita segarkan ingatan, bahwa betapa banyaknya bangsa yang pernah berjaya, tapi dihancurkan akibat ulah manusia sendiri. Karena melupakan Allah, sombong. atau doyan berbuat dosa. Kemdian Al-Quran menceriterakan negeri aman, tenteram dan makmur.

Dalam Al-Quran terdapat lima ayat yang menyebut kalimat “Baldatun”, yaitu pada surah Al -Furqan 39, Al- Namal 91, Al - Zukhruf 12, dan Qaf 11 .Kita kutip secara lengkap (artinya) “Sesungguhnya bagi kaum Saba, ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri, (kepada mereka dikatakan), ” Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu, dan bersyukurlah kamu kepadaNya, Negerimu adalah negeri yang baik, dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Penganpun.
Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir besar, dan Kami ganti kedua kebun mereka, dengan kebun yang ditumbuhi pohon –pohon yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr” (QS.34 :15-16).

Menurut Tafsir Al-Baidhawi, gambaran Baldatun Thayibah pada ayat diatas, ialah negeri yang mempunyai dua kebun yang subur kiri dan kanan, sehingga kelihatan menjadi satu kebun yang sangat subur dengan bendungan raksasa Ma’rib yang kokoh mengatur airnya dengan baik. Sedang kampung- kampung yang dilaluinya ialah Shana’ah hanya ditempuh perjalanan tiga hari dan terdapat tempat-tempat istirahat dan ibadah.

Dalam kesuburan dan keamanan perjalanan seperti ini, maka mensyukuri negeri yang subur itu menjadi wajib hukumnya bagi penduduknya, tapi karena mereka berpaling dan melupakan, maka kebun yang indah disunglap menjadi kebun yang buahnya pahit dan bobolnya bendungan raksasa, sehingga mereka membawa penderitaan (Juz II:259).

Jadi, negeri yang baik menurut Al-Quran, yaitu negeri yang subur, dikiri kanannya tumbuh pohon rindang, dengan pengairan dan bendungan yang tidak bobol, tetangga disekitarnya juga aman perjalanan siang dan malam serta berada dalam kondisi ampunan Tuhan, karena penduduknya selalu mengingat Allah. Dan jika ada diantaranya yang berbuat dosa, segera bertobat dan memohon ampunan.

Mensyukuri nikmat :
Jika kita bandingkan negeri Saba.’ Maka negeri kita juga termasuk Baldatun Thayibah, karena Orang Arab menggelarnya, “Qith’atun min al-Jannah “ ( Laksana sepotong tanah yang dicungkil dari surga ), karena suburnya pohon dan hijaunya tanaman. Tapi dengan adanya musibah yang menimpa sebagian wilayahnya, itu adalah peringatan, jangan sampai kesuburan itu terhapus seluruhnya. Bukan bobolnya bendungan, tapi menyerangnya ombak Tsunami yang juga menghasilkan penderitaan.

Mensyukuri nikmat dalam Al-Quran jumlahnya, banyak sekali, diantaranya:

(1) Karena itu ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat pula kepadamu dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu (QS. 2 : 152).

(2) Hai orang-orang yang beriman makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadaNya kamu menyembah (QS.2: 172).

(3) Jika kamu bersyukur, pasti akan Kutambah nikmatKu untukmu, dan jika kamu kufur ( tidak syukur ), maka ingatlah siksaanKu amatlah pedih” (QS.14 : 7 ).

Menurut ulama Tafsir, ayat pertama diatas yang dimaksud Aku akan mengingat kamu berarti Tuhan akan melimpahkan rahmat dan ampunanNya kepada yang suka berzikir dan mengingatNya. Dan betapa pentingnya syukur (berterima kasih) atas sejumlah kenikmatan yang telah diberikan Allah.

Ayat kedua memberi gambaran pula, bahwa hanya rezeki halal saja yang dibolehkan disantap, sebagai tanda syukur dan dilarang memakan yang zatnya haram atau cara memperolehnya haram, karena dapat merusak keturunan dan generasi.

Kemudian pada ayat ketiga digambarkan, pasti akan lebih banyak nikmat yang diberikan lagi bagi yang suka bersyukur, dan tidak langsung disiksa jika seseorang ingkar. Ini menandakan betapa dominannya kasih sayang Tuhan, dibanding amarahnya(Inna rahmati sabaqat ghadhabi).

Pakar Tafsir, Prof.M.Quraish Shihab, berpendapat makna tidak menjadi kafir dalam kaitannya dengan kemerdekaan, adalah mengolah dan mengembangkan setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi dan setiap setetes air di samudera, sehingga dengan demikian kita tidak menutup-nutupi nikmat Allah (1996 :142).

Mufassir Al-Jazairi, menyebutkan yang dimaksud mengingat dan mensyukuri nikmatNya yaitu mengingat dan mencontoh sifat-sifat Allah, menegakkan syariat dan ibadah-ibadah yang telah ditentukan, dan jika seseorang melupakan dan mengingkarinya, berarti sama halnya, memaklumkan dirinya siap menerima siksaan yang pedih, baik dalam kehidupan dunia atau akhirat kelak.

Alhasil, “Tiada seseorang yang dapat melepaskan azab anak Adam, kecuali hanyalah mereka yang suka beribadah (berzikir) kepada Allah (Juz I:132).

Menyebarkan nikmat :
Nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia, sangatlah banyak. Al- Quran menyebutnya “La tuhsuha” (Tidak mampu kamu menghitungnya).Hidup diberi penglihatan, pendengaran, akal, perasaan, bentuk badan yang indah, berbeda dengan hewan. Kemudian diberi tanah untuk tempat tinggal dan diolah bertani, laut untuk diolah nelayan, udara, air, rezeki, isteri, anak dan harta benda yang banyak. Semuanya itu herndaknya digunakan dan diinfakkan sesuai yang diridhai Pemberinya. Jika digunakan kepada yang tidak diridhai, itulah yang namanya inkar (Kafir nikmat ).

Al-Quran dengan tegas memberi petunjuk “ Wa amma bini’mati rabbika fahaddist “ (Dan tehadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur) menyampaikannya (QS.Al-Dhuha 11).

Kelemahan sebagian orang, nanti merugi, barulah diceriterakannya. Sebaliknya, jika bertambah rezekinya dan sukses, tidak pernah menceriterakan kepada sesamanya. Artinya, secara halus, bukankah ini tidak termasuk menyudutkan Tuhan ?.(Na’udzu billah !).

Selanjutnya oleh mufasir, menyatakan, bahwa yang disebut menyebut-menyebut nikmat Tuhan ialah merasakan kepuasan, sambil menjauhkan diri dari rasa riya’ dan bangga, sebagai bentuk pengejawantahan rasa syukur kepada Allah SWT.

Sebab itu mensyukuri nikmat harta yang diberikan bermakna, hendaknya didistribusikan sebagian kepada yang membutuhkan, apalagi yang ditimpa musibah. Adapun nikmat yang paling besar yang telah diberikan Allah kepada manusia adalah hidayah memeluk Islam, sebab dengan ISLAM menyebabkan akan memperoleh dua kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Alhasil yang disebut mensyukuri nikmat dalam bentuk lisanul hal ialah menyebarkannya (mendakwakannya) ajaran Islam kemana-mana, sekurang-kurangnya dengan contoh keteladanan Islami, di seluruh aktifitas kemasyarakatan. Apa sebab ?. Karena semua kenyamanan dan kesenangan yang diraih seseorang, tiada artinya tanpa dibarengi nikmat agama, karena amalnya dapat menjadi sia-sia belaka. Kita tidak harapkan.

Akhirnya, kaifiat mensyukuri “ Baldatun Thayibah Warabbun ghafur ”, (negeri yang subur, makmur, aman, adil dan damai, dibawah lindungan Allah) , tiada lain kecuali penduduknya rajin mengingat (beribadah) kepada Allah, rajin bekerja terutama mengolah kekayaan alamnya, sesuai yang diridhai PemberiNya, dan cepat istigfar (tobat) manakala terjerumus ke dalam perbuatan dosa, serta tetap memelihara hubungan baik, terutama keamanan bersama, dengan negeri-negeri tetangganya. Tanpa melakukan seperti itu masih berada dalam kekufuran.

Semoga penduduk negeri ini mampu melaksanakan kaifiat mensyukuri Baldatun Thayibah Warabbun ghafur. Amin.

No comments: