Friday, November 16, 2007

Menertibkan Gelar Akademik

Banyak laporan dari daerah, bahwa di daerahnya marak pemberian gelar akademik yang dilakukan oleh perguruan tinggi swasta yang tidak populer. Bahkan perdagangan gelar kesarjanaan. Lucunya, ada yang resmi kerjasama pemerintah daerah. Dengan mudah dapat menyandang gelar kesarjanaan, dalam waktu yang relatif singkat, asal mampu membayar jutaan rupiah. Dibuatkan skripsi dan thesis, daftar hadir, jawaban soal ujian, lalu bermain sinetron membohongi rakyat. Akibatnya kini didaerahnya tela banyak pegawai pemda yang bertitel Sarjana, Master dan Doktor (HC), sekalipun tidak relevan dengan tugasnya. Kalau setingkat S1 dan S2 boleh bermain sinetron dalam negeri. Tapi kalau tingkat tertinggi Doktor ( Honoris Causa ) harus di luar negeri, seperti di Singapura, namun biayanya lebih mahal. Yang lucu pejabat yang sudah membeli gelar itu, masih dibuatkan pidato oleh ajudannya yang tidak bertitel.

Karena sasaran utamanya pejabat yang berduit, maka banyak pejabat yang sudah memakainya tanpa malu-malu. Ditulis dalam undangan perkawinan anaknya dan dalam memimpin partai. Mulanya masih ditulis Dr (HC).Lama - lama, hilang HC-nya, karena keasyikan. Merasakan persis Doktor betulan yang berkaliber nasional atau internasional.

Ini adalah fakta dan bukan fitnah. Rupanya budaya siri’yang dipertahankan orang Sulsel sudah hilang, demikian antara lain bunyi laporan.

Berdasarkan laporan itu maka pada hari Kamis yang baru lalu, Komisi E DPRD Sulsel mengundang dengar pendapat pimpinan Perguruan Tinggi Negeri : Unhas, UNM, IAIN, Kopertis IX dan Kopertais VIII yang mengkordinir Perguruan Tinggi Swasta. Bagaimana penerimaan mahasiswa baru, biaya pendidikan, dana yang diperoleh dari pemerintah, akreditasi perguruan tinggi swasta, terutama yang suka memberi gelar Master dan beroperasi di wilayah Sulawesi Selatan. Dengar pendapat itu berlangsung selama kurang lebih 3 jam.

Ternyata, menurut pimpinan ketiga perguruan tinggi negeri itu, juga dipusingkan dengan praktek jual beli gelar akademik, maraknya pemberian gelar master dengan mudah, serta semakin kurangnya alokasi dana dari pusat, sehingga umumnya memohon bantuan agar pemda mengalokasikan melalui perubahan APBD Sulsel.

Penulis hanya akan membahasnya bagaimana pemakaian gelar itu, menurut etika Islam.

Namun sebelumnya, perlu dikemukakan pendapat kedua pakar dari perguruan tinggi bergensi di Jawa Barat, tentang gelar akademik. Pertama, menurut Prof. Wimpie Pangkahila dari IPB, di negara liberal seperti Amerika Serikat, jual beli gelar-gelar itu biasa biasa saja. Masyarakat sudah tahu mana universitas yang unggul dan mana yang klandestin. Tidak ubahnya seperti menjajakan potret Presiden. Apa nilainya ? Bagi orang yang sudah tahu triknya, hanya bisa tersenyum. Kedua, menurut Dr. Djalaluddin Rahmat dari Unpad, kalau dahulu feodalisme itu berdasarkan keturunan, maka sekarang feodalisme itu berdasarkan gelar Universitas, semisal Drs, Master, Doktor dan Prof. Orang sekarang mengukur jumlah gelar yang bertengger pada namanya. Bukan berapa karya ilmiah dan buku yang ditulisnya. Inilah yang disebut feodalisme gaya baru sebagai penyakit masyarakat.

Dalam Alquran:
Dalam Alquran banyak ayat ditemukan, tentang pemberian penghormatan dan derajat yang diberikan Tuhan, terhadap orang yang berilmu betulan. Diantaranya “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantaramu, dan beberapa derajat lebih tinggi orang yang berilmu pengetahuan “ (QS. Al-Mujadilah 11). Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya hanyalah ulama (Orang berilmu) (QS. Fathir 28).Tidaklah sama orang yang berilmu pengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahun (QS.Al-Zumar :9 ).

Berdasarkan ketiga ayat tersebut, maka jelaslah bahwa Tuhan sendiri mengakui ketinggian derajat orang berilmu pengetahun, dibanding yang lain sekalipun sama-sama beriman tapi tidak berpengetahuan.

Karena hikmah dan ilmu yang telah diberikan kepada rasul-rasul, maka beberapa rasul mempunyai gelaran sesuai penugasan dan pendekatannya dengan Tuhan, misalnya Nabi Ibrahim gelarannya “ Khalil Allah “ ( Sahabat Tuhan ), Nabi Musa “Kalam Allah” (Teman dialog Tuhan ), Nabi Isa digelar “Ruh Allah” ( Nyawa Tuhan ) dan Nabi Muhammad bergelar “ Habib Allah “ ( Kekasih Allah ).

Gelaran lain terutama kepada Nabi Muhammad SAW masih banyak, seperti gelaran Muhammad Madinat al’ilm ( Kotanya ilmu ), Akhirul Anbiyai wa al-mursalin ( Penutup segala Nabi dan rasul), Asyraful mursalin ( Rasul termulia ) dsb.

Begitu tingginya penghormatan Tuhan kepada nabi Muhammad maka cara memanggilnya tidak pernah menyebutnya “ Ya Muhammad ” ( Hai Muhammad ). Tetapi nabi dipanggilnya dengan gelaran yang sangat etis, misalnya “ Ya ayyuha al-Nabiyyu “ (Wahai segala Nabi-nabi ) ( jamak ). Padahal mestinya Ya Nabi ( mufrad ), karena Nabi cuma seorang. Maknanya, semua panggilan dalam bentuk jamak padahal orangnya cuma seorang, menurut rahasia Bahasa Arab adalah penghormatan yang tinggi. Seperti juga jika kita berjumpa yang diucapkan “Assalamu Alaikum” ( Semoga kamu sekalian senantiasa dalam keselamatan dan kesejahteraan ), sementara yang dijumpai cuma seorang. Demikian juga jika Tuhan memanggil Nabi yang sedang berselimut, disebutnya “Ya ayyuha al Muddasstir (Wahai segala yang sedang berselimut ), dsb. Pokoknya , berpuluh-puluh ayat pemberian gelaran Tuhan terutama kepada Nabi Muhammad, tapi Nabi tidak pernah memakainya, dalam berkirim surat seperti Min Muhammad Asyraf al-mursalin (Dari Muhammad, rasul termulia), tapi cukup Min Muhammad Rasulullah dalam misi dakwah, atau langsung Min Muhammad bin Abdullah (Dari Muhammad anak Abdullah) dalam perdamaian. Artinya dalam etika Islam sekalipun gelaran benaran sudah disandang, sebaiknya tidak terlalu sering ditonjolkan. Kecuali orang lain yang menulisnya, karena ciri khas orang berilmu adalah semakin tawadhu’.

Dalam Sunnah:
Dalam sunnah (kebiasaan) Rasul, beliau sangat senang memanggil orang atau benda yang disukainya dengan gelaran yang pantastik, seperti jika memanggil isterinya dengan kalimat “ Ya Humaira” ( Wahai perempuan cantik lagi kemerah-merahan atau perempuan cantik lagi kuning- langsat ). Demikian benda-benda yang dipakainya seperti perisainya dengan gelaran “Zdat al-Fudhul” ( Zat yang sangat mulia), pedangnya dengan “Zulfiqar” ( si bermata dua ), pelananya dengan “Al-Daj” dan tikarnya dengan “ Al-Kuz,” dsb.

Dari contoh - contoh gelaran Alquran dan Sunnah tersebut, dipahami bahwa memberikan gelar dan pemakaian gelar itu dalam etika Islam adalah Mubah (Dibolehkan), sepanjang bukan dengan niat riya’ ( pamer ). Sama dengan kebiasaan di Sulsel, jika orangnya hebat digelari “ Daeng Patompo” atau yang putih dengan gelaran “ Daeng Kebo”, dsb.

Dan tentu akan lebih wajar lagi jika gelar itu dari Perguruan Tinggi, setelah selesai studi S1, S2 dan S3 semisal Drs, Master dan Doktor. Apalagi dengan upacara wisuda. Dan bukan semacam sinetron. Demikian juga gelaran tanpa wisuda pemberian masyarakat karena keturunan seperti Andi, KaraEng, Raden. Atau gelaran budaya keagamaan seperti Kiyai, Haji, Gurutta dsb.

Harus jujur :
Sekalipun pemakaian itu dibolehkan, namun ada hal-hal yang kurang etis jika dipakainya terus menerus, sehingga terkesan pamer. Misalnya, jika menulis di media massa, sebaiknya memperlihatkan sifat tawadhu’. Menurut hukama, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin terlihat pula tawadhu’nya. Ketika Imam Syafei hijrah ke Mesir, memperoleh pertanyaan dari jamaah dalam suatu majelis sebanyak 10 buah, tapi yang dijawabnya hanya tiga soal, lalu berjanji insya Allah dilain waktu sisanya akan dijawab jika masih mampu. Padahal kesepuluh soal itu dapat dijawabnya dengan gampang, hanya karena tawadhu’ dan etika ilmu, maka ia belum mau menjawab semua. Lagi pula beliau belum berapa lama berada di Mesir, khawatir terkesan riya’.

Demikian jika berkirim surat kepada orangtua, lebih etis jika nama asli saja yang ditulis. Dan jika ada pembaca yang terlanjur memperoleh gelar karbitan, misalnya Doktor (HC), sebaiknya ditulis terus menerus HC-nya, untuk memperlihatkan kejujuran. Atau lebih afdal tidak digunakan, khawatir menjadi ejekan teman, apalagi jika pidatonya masih dibuatkan yang tidak bertitel.

Menurut salah seorang PR I Universitas Negeri dalam dengar pendapat baru-baru ini bahwa Menteri Pendidikan Nasional sudah pernah menghimbau agar pejabat negara yang memperoleh gelaran Dr (HC), lebih afdal jika tidak dipakainya, khawatir kelupaan menulis HC-nya, lalu menjadi ejekan. Namun sangat disayangkan, diantara Capres yang menawarkan dirinya dipilih 5 Juli 2004, masih ada yang memakainya tanpa menulis HC lagi. Menurut hemat penulis capres seperti itu telah mengzalimi dirinya, yang oleh Alquran melarang memilih pemimpin yang tidak jujur. (QS.Al-Baqarah 124).

Demikian termasuk tidak etis, jika gelar yang diperoleh semuanya dipasang. Misalnya jika gelarnya ada enam, 3 titel sebelum nama dan 3 lagi sesudah namanya, sehingga lebih panjang titel dari namanya, misalnya Prof. Dr.Ir. Daeng Patompo, MA, SH, S.Ag. Menurut hemat penulis, sebaiknya yang dipasang hanya satu saja, atau paling banyak dua yang tertinggi, misalnya Prof. Patompo atau Prof. Dr. Patompo. Apa sebab ?. Karena gelar itu adalah penghormatan dan perhiasan semacam cincin emas. Kalau semua jari-jari dipasangi cincin, (maaf) terkesan seperti orang yang memiliki gangguan ingatan. Tapi, kalau hanya satu saja pada jari manis, wah luar biasa indahnya terutama bagi penggemar batu-batuan dan keharmonisan.

Akhirnya, berdasarkan kenyataan munculnya sistem feodalisme baru dengan banyaknya penyimpangan pemakaian gelar-gelar akademik, atau munculnya penyakit masyarakat yang hanya menghargai kulit dan bukan isi, maka sangat diperlukan pihak pemerintah kiranya menertibkan dan memberikan sanksi kepada yang melanggar undang-undang pendidikan, yang juga tidak sesuai etika dan muru’ah Islam.
H. Mochtar Husein

No comments: