Friday, November 16, 2007

Politik yang Qur'ani

Alhamdulillah anggota Legislatif Sulsel yang baru, telah dilantik kemarin.Sekalipun yang disebut baru itu lebih separuh diantaranya yang lama. Bagi yang baru dilantik, sewajarnya menyadari bahwa hasil pemilu tahun 2OO4, baik Legislatif atau Presiden sudah betul-betul langsung pilihan rakyat. Hampir tidak ada lagi peranan ketua Partai dan Ormas, khususnya pemilihan Presiden putaran kedua. Kenyataan, rakyar telah berdaulat betul. Partai besar tumbang, sekalipun berkoalisi sesama yang besar dan didukung kekuasaan, tokoh masyarakat dan pendanaan yang berlimpah. Artinya, pejabat baru harus ekstra hati-hati dan lebih mendekati politik yang sesuai Alquran.Sedang yang telah berhenti, hendaknya bersyukur, karena berkurang lagi satu amanah yang harus dipertanggung jawabkan di hari kiamat. Teringat Khalifah Umar biun Abdil Aziz ketika selesai dilantik, bukan mengucapkan “Alhamdulillah” karena memperoleh kjabatan, tapi yang diucapkan “Inna Lillah” dan menangis, jangan sampai tidak mampu mempertanggung jawabkan amanah. Bagi seorang muslim, kenyataan bangsa ini yang mulai berdaulat, hendaknya disadari, bukti kebenaran Alquran yang menyatakan “ Kam min fiatin qalilatin ghalabat fiatan katsiratan biidznillah “ ( Ada kalanya kelompok yang kecil, mengalahkan kelompok yang besar dengan izin Allah) (QS. ). Asbab nuzul ayat, menggambarkan suatu peristiwa pertempuran yang tidak seimbang, antara kaum muslimin yang jumlahnya sangat kecil, dengan mengalahkan kaum musyrikin yang ribuan banyaknya, dengan persenjataan yang kuat.

Karena pelantikan DPRD yang baru kemarin, ada yang bertitel Kiyai dan Professor yang dulu dikenal vokal, serta kenyataan masyarakat yang semakin pintar dan kritis, mungkin tidak jelek jika kita segarkan, bentuk politik yang sesuai Alquran.

Makna:
Dalam kamus lama, makna politik berkonotasi jelek, jahat dan kotor. Sehingga sebagian masyarakat sampai sekarang, masih ada yang tetap menilai demikian. Apalagi jika seorang Ulama,Kiyai dan Professor berpolitik. Seolah kejahatannya itu, berganda. Tapi, alhamdulillah dengan terbitnya Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru, tidak lagi ada ditemukan konotasi jahat itu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Politik mempunyai 3 arti. Pertama, Ilmu pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan. Kedua, Segala urusan dan tindakan ( kebijakan, siasat, dsb ) mengenai pemerintahan. Ketiga, Kebijakan dan cara bertindak dalam menghadapi suatu masalah. Politikus ialah orang yang ahli kenegaraan atau orang yang berkecimpung di bidang politik ( halaman 694).

Berdasarkan makna dalam Kamus baru, tidak terlihat ada satu katapun yang berkonotasi yang menyebut jahat, pendusta, berjanji palsu dan suka menghancurkan. Kemungkinan konotasi jahat itu menjadi persepsi sebagian masyarakat, jika orang yang berpolitik itu meniru sistem Machiavelis, yaitu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kalau sistem itu digunakan, maka dengan tegas bertentangan Alquran. Seperti tindakan Presiden Amerika, Bush terhadap Irak yang menuduh menyimpan senjata pemusnah massal; yang sampai sekarang sekalipun Saddam Hussein sudah tertangkap, namun belum ditemukan ada bukti. Hasilnya, hancurlah negeri muslim yang pernah berjaya ratusan tahun, bersama hancurnya rakyat muslim tidak berdosa.

Kalau pengertian Kamus Besar yang kita percayai, maka Alquran banyak menyuguhkan praktek politik yang dianut oleh para Rasul, terutama dalam menghadapi kezaliman raja-raja di masa lampau. Atau ketika mereka menjalankan tugas sebagai Imam atau Khalifah.

Al-Siyasah :
Dalam Bahasa Arab, politik diartikan dengan istilah al-Siyasah, yaitu salah satu makna dalam Kamus Bahasa Indonesia diatas, dengan kata “ siasat “. Siasat atau strategi dan sistem Rasul memimpin, dipraktekkan dalam sejarah Dakwah dan penyiaran Islam, seperti perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Medinah, menarik bagi politikus untuk dianalisis, sebagai suatu model. Demikian dalam sejarah Khulafa’ al-Rasyidin, terutama khalifah Abu Bakr al-Siddik RA dan Umar bin Khattab,RA.

Dalam ilmu politik banyak defenisi yang dapat dikemukakan, namun karena ruangan terbatas, maka hanya 3 diantaranya yang sempat dikemukakan : (1) The study of the formation, forms and processes of the states and governaments, ‘maksudnya ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari asal mula, bentuk-bentuk, proses negara-negara dan pemerintahan-pemerintahan (Wilbur White) (2) Ilmu politik adalah ilmu tentang negara dan pemerintahan (Gilchrist).(3) Ilmu politik menyelidiki negara dalam keadaan bergerak (Adolf Grabowsky).

Dari tiga definisi tersebut, tergambar dari asal kata “polis” yang berarti “Negara Kota”. Dengan demikian, politik itu berarti hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama yang menimbulkan aturan, kewenangan dan akhirnya kekuasaan. Tetapi, politik bisa juga dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan pemerintahan, konflik dan berbagai pembagian kata-kata yang serumpun.

Dasar-dasar politik dalam Alquran dapat dilihat misalnya : Tuhan adalah Penguasa tertinggi, Maha Raja, Maha Suci, Maha Pemberi Sejahtera, Maha Memelihara, Maha Pemberi Aman, dan Maha Memiliki segala keagungan (QS.59:23). Disamping itu Tuhan Pencipta langit, bumi, manusia dan alam semesta. (QS.25:54) Bahkan, Tuhan sumber segala kebenaran (QS.3:6O). Artinya, Tuhan adalah Penguasa Tunggal, tapi memberikan tugas kepada manusia sebagai “Khalifah fi al-Ardh” dan pemakmur “ Wa asta’marakum fiha “.

Esensi utama politik yang sesuai Alquran, mempunyai fungsi :

Pertama : Menyadari kedudukan manusia.

Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan Dia meninggikan sebagian dari kamu atas sebagian (yang lain) untuk menguji kamu (QS.al-An’am 165).

Kedua : Menjadi Imam yang adil, jujur dan ihsan.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan. (QS.Al-Nahl 9O)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah menetapkan dengan adil (QS.Al-Nisa 58).Sekalipun merugikan pribadi pemimpin.

Ketiga : Menjadi penegak musyawarah.

Dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.(QS.Ali Imran 159). Musyawarah ala Qurani bukan 5O + 1 %, tapi keputusan diambil ialah pendapat yang paling dekat kepada Alquran, sekalipun kurang 5O %. Namun, diberi peringatan Rasul, janganlah kamu suka membuat keputusan, hanya dengan satu pendapat (Ruhul Ma’ani, 25:24).

Keempat :Menanamkan persamaan.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal,seungguhnya yang termulia diantara kamu disisi Allah ialah yang paling takwa diantara kamu.(QS.al-Hujurat 13).

Kelima : Menegakkan kebebasan beragama:

Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam) ; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah (QS.al-Baqarah 256).

Dan jika Tuhan menghendaki, tentulah akan beriman semua orang yang ada di muka bumi ini seluruhnya (QS.Yunus 99).

Keenam : Mendidik, taati pemimpin dan melaksanakan nahi munkar.

Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, taatilah RasulNya dan pemimpin diantara kalian (QS.al-Nisa 59).Tapi selama pemimpin itu tidak menyuruh berbuat munkar, karena Nabi memerintahkan ubahlah kemunkaran dengan tanganmu, atau lidahmu atau jika terpaksa dengan hatimu, sekalipun masuk kategori iman yang lemah (HR.Bukhari).

Akhirnya, bentuk-bentuk politik yang sesuai Alquran ialah menyadari kekuasaan utama adalah Tuhan, menyadari kedudukan manusia (SDM), berwatak jujur, adil, suka membangun (menyumbang), mengutamakan rmusyawarah, menanamkan persamaan, memberi kebebasan beragama, mentaati pemimpin yang taat kepada Allah, memberantas kemungkaran (termasuk korupsi) dan memberi contoh dengan hidup sederhana. Dasar-dasar itu dipraktekkan Rasul SAW di Medinah, dilanjutkan praktek Khulafaurrasyidin dan sebagian kecil kerajaan Islam. Bukan meniru bentuk politik Machiavelis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Sedang tujuan utama politik Alquran ialah menyebarkan dakwah dan rahmatan lil’alamin.
H. Mochtar Husein

No comments: