Dalam kunjungan beberapa daerah dalam rangka peringatan Maulid barubaru ini, penulis merasakan adanya persepsi masyarakat yang antusias terhadap pelaksanaan Maulid, tidak bergeser dari semula, persis 5O tahun lalu. Sambutannya dalam bentuk tradisional, berjalan tanpa merasa ada hambatan dunia moderen. Baca Barzanji atau zikir berjamjam, jamuan telur yang berwarna warni, kado minynya,ayam panggang dan menaiki kuda diarak, dengan anakanak yang telah khatam Alquran. Pokoknya dilakukan dengan mengorbankan apa yang ada padanya, demi cinta kepada Rasul.
Yang menjadi masalah, Barzanji yang dibaca dan ada diantaranya yang sempat menerjemahkan ke dalam Bahasa Bugis dengan lagu sepesifik, justru berlalu saja tanpa kesan dan penghayatan. Seolah olah kissah puitis Barzanji hanya semacam nyanyian yang mengasyikkan, dan tidak ada keinginan sedikitpun untuk menirunya. Salah satu sebabnya, ketika penulis menanyakan mengapa demikian ? Dengan kontan di jawabnya, dunia moderen ini kan menawarkan dunia materialistis. Kini dikampung kita yang miskin yang kebanyakan kaum nelayan, justru ratarata punya TV, VCD dan Karoke. Tidak ada lagi yang menyuarakan Alquran, dan Barzanji yang di lagu dan terjemah seperti dahulu, pada setiap malam Jumat, kecuali setahun sekali dalam Maulid seperti sekarang.
Kesederhanaan Rasul :
Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan Al-Barzanji, Syadidul hayai (Luar biasa pemalunya), Wal-Tawadhu’ (Merendahkan diri) , Yuhibbul fuqara’ wal- Masakin (Mencintai fakir miskin) dan sejumlah sifat kesederhanaan yang orang sekarang menganggapnya kehinaan dan menurunkan gensi. Khusus pemburuan harta seperti dunia materialistis, justru sangat bertentangan prinsip hidup Rasul. Menurut kisah Al-Barzanji, ketika Muhammad sedang dililit tekanan ekonomi, penjaga gunung menawarkan dapat menyunglap gunung menjadi emas dan diberikan kepadanya, tapi dijawabnya, “ abaa” (Tidak perlu). Hal yang seperti itu ditiru sdahabat terdekatnya seperti Ali dan Abu Zar al-Ghifari.
Yang menjadi masalah, Barzanji yang dibaca dan ada diantaranya yang sempat menerjemahkan ke dalam Bahasa Bugis dengan lagu sepesifik, justru berlalu saja tanpa kesan dan penghayatan. Seolah olah kissah puitis Barzanji hanya semacam nyanyian yang mengasyikkan, dan tidak ada keinginan sedikitpun untuk menirunya. Salah satu sebabnya, ketika penulis menanyakan mengapa demikian ? Dengan kontan di jawabnya, dunia moderen ini kan menawarkan dunia materialistis. Kini dikampung kita yang miskin yang kebanyakan kaum nelayan, justru ratarata punya TV, VCD dan Karoke. Tidak ada lagi yang menyuarakan Alquran, dan Barzanji yang di lagu dan terjemah seperti dahulu, pada setiap malam Jumat, kecuali setahun sekali dalam Maulid seperti sekarang.
Kesederhanaan Rasul :
Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan Al-Barzanji, Syadidul hayai (Luar biasa pemalunya), Wal-Tawadhu’ (Merendahkan diri) , Yuhibbul fuqara’ wal- Masakin (Mencintai fakir miskin) dan sejumlah sifat kesederhanaan yang orang sekarang menganggapnya kehinaan dan menurunkan gensi. Khusus pemburuan harta seperti dunia materialistis, justru sangat bertentangan prinsip hidup Rasul. Menurut kisah Al-Barzanji, ketika Muhammad sedang dililit tekanan ekonomi, penjaga gunung menawarkan dapat menyunglap gunung menjadi emas dan diberikan kepadanya, tapi dijawabnya, “ abaa” (Tidak perlu). Hal yang seperti itu ditiru sdahabat terdekatnya seperti Ali dan Abu Zar al-Ghifari.
Lalu jika kita bandingkan dengan pemimpin kita sekarang, sangat jauh bedanya. Perbandingannya seperti antara bumi dan langit.
Namun demikian, bukan berarti bahwa agama ini memerintahkan umatnya agar miskin, tetapi keseimbangan antara kepentingan dunia wal-akhirat, harus paralel dan harmonis. Boleh kaya, tetapi didalamnya adah hak “ Lissailin wal-marhum “ ( Pemintaminta dan miskin yang tidak suka meminta). Kewajiban berzakat dan berhaji memerlukan biaya, sebab itu tidak dilarang untuk mencapainya, bahkan dianjurkan agar sejahtera kehidupan dunia. Bahkan ada kewajiban berdakwah, membina pendidikan, mencari bea siswa dan membiayai kemaslahatan umat, utamanya fakir miskin.
Jadi meneliti ayatayat Alquran dan sejarah kehidupan Nabi, semuanya diarahkan bahwa kehidupan dunia bukan yang utama. “Walal akhiratu khayrun laka minal ula “ ( Sesungguhnya kehidupan akhirat jauh lebih baik bagimu, dari kehidupan dunia). Artinya, bagaimanapun indahnya kehidupan dunia ini, dengan hartanya yang melimpah, dengan perempuannya yang cantik dan dengan tahtanya yang empuk, maka semuanya itu dibanding kehidupan akhirat jauh lebih bagus. Sebab itu hadis yang sering dipidatokan orang, tuntutlah kehidupan duniamu seakan akan hidup abadi, adalah hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Didalam Alquran Surah al-Qasa 77, dengan tegas dikatakan : “ Tuntutlah kehidupan akhiratmu dan jangan lupakan nasibmu di dunia “. Artinya dalam mencari kehidupan bukan melulu akhirat, tapi diingat juga kehidupan dunia, akan tetapi bukan se olaholah hidup abadi, seperti yang dipidatokan sebagian orang. Kalau terpaksa harus condong, hendaklnya akhirat lebih utama (Walal akhiratu khayr).
Suatu waktu orangorang yang ekonominya tergolong lemah bertanya kepada Rasul, amal apakah yang dapat menandingi orang kaya untuk masuk surga ?. Dijawab oleh Nabi, baca Hamdalah, tasbih dan takbir 33 kali setiap selesai salat. Jika anda baca anda akan lebih dahulu masuk surga, karena hartanya tidak banyak yang diperiksa, dan punya plus. Namun beberapa hari kaum ekonomi lemah melaporkan, bahwa si kaya juga baca. Kalau demikian sisa perbedaan harta banyak dan sedikit. Tapi kalau yang berharta banyak itu dikeluarkan sadakahnya sesuai yang ditentukan syarat, maka terpaksa anda bersamaan masuk, karena perhitungan harta yang bersih, amatlah cepatnya.
Alhasil, jika kita menjadi pemimpin masyarakat, mulai dari kepala desa sampai presiden, maka kesederhanaan itu mutlak diperlukan, karena masyarakat awam menilai, kesederhanaan itu identik dengan pemimpin yang sukses yang dicintai. karena tidak gila harta, seperti Nabi Muhammad SAW. Bahkan dengan tegas al-Barzanji, mengisahkan Muhammad hidup dengan kesederhanaan, pemalu dan tawadhu’ dan cinta orang miskin. Sekalipun sebagian kecil masyarakat awam yang ingin ikut hidup sederhana.
Jika Gus Dur, tidak mengurangi perjalanan luar negerinya yang dianggap sebagian pengamat ekonomi, termasuk pemborosan dan bukan hidup sederhana seperti Rasul, maka akan sukarlah meyakinkan masyarakat, bahwa golongan Kiyai (Ulama) itu adalah Warasatul anbiya’. Demikian juga para pemimpin di daerah, khususnya kaum elit politik, pemimpin formal atau non formal, jika tidak berhenti menumpuk dan memperkaya diri ditengah masyarakatnya yang serba kekurangan, niscaya simpati masyarakat di masa depan, semakin jauh. Semoga peringatan Maulid dapat kita hayati. Amin.
No comments:
Post a Comment