Friday, November 9, 2007

Cahaya diatas Cahaya

KETIKA menjadi santri tradisional di desa Pambusuang Balanipa ( Sulbar ) maka yang tertulis di pintu rumah Gurutta Kiyai H. Abdul Hafied (1953) “ Al- ilmu Nur wa Nur Allah, la yuhda li ‘Ashin”(Ilmu itu adalah Nur (cahaya) dan cahaya Allah itu tidak diberikan kepada yang durhaka. Kata Kiyai, statemen ini harus dicamkan dalam hati,setiap santri. Bahkan, Kiai yang lebih senior Gurutta, H.Syihabuddin Bin Nuh pernah memarahi isterinya ketika mutalaah dan susah memahami yang dibaca, gara-gara diberi makan isterinya masakan yang berasal dari syubhat (belum jelas haram halalnya) yaitu kayu yang digunakan memasak dipungut dari kolom rumah seorang tetangga, kemudiabn segera dibayar kayu bakar yang tercecer itu, barulah memancar Nur ke dalam hatinya dan memahami isi kitab yang dibaca. Bagaimana dunia sekarang yang terang-terangan bukan saja syubhat saja dimakan, tapi yang harampun berani dilahapnya sebagian orang. Itu sebabnya Nur ilahi semakin jauh dari hati seseorang murid karena ulah orangtuanya . Dan ilmu sebagai Nur, itu juga, diajarkan Imam Syafei dan Imam Al-Gazali, sejak dahulu..

Menurut para ilmuwan, “Nur” adalah salah satu energi yang menjadikan kita dapat menangkap bayang-bayang di sekitar kita.. Seluruh cahaya yang sampai kepada kita berasal dari cahaya matahari. Kecepatan cahaya menempuh angkasa sekitar 3OO ribu kilometer perdetik.Cahaya itu menembus bahan-bahan yang transparan. Cahaya ada yang dapat dilihat dengan mata kepala.dan ada juga tak terjangkau, seperti gelombang radio dan sinar X. Dalam kehidupan spiritual, Nur merupakan sebagai simbol, seperti ilmu adalah cahaya dan iman adalah cahaya. Bahkan, bekas air wudhu adalah cahaya di wajah seorang muslim, dsb.

Bagaimana memahami, Allah sebagai Nur ?.
Dalam Al-Quran ada 41 kata Nur, tapi hanya 1 ayat yang langsung menyebut, Allah Nur. Dinyatakan Al-Quran, “Allahu Nur Samawati wal- ardhi…”.( Allah adalah ( Pemberi) cahaya kepada langit dan bumi ).(Baik yang bersifat material (dapat dilihat dengan mata kepala), atau spritual (dapat dilihat dengan mata hati ) misalnya, iman, Islam dan ilmu.

Perumpamaan (kejelasan) cahayaNya, seperti sebuah cela dinding, yang tak tembus, sehingga tidak diterpa angin,yang dapat memadamkan cahaya, membantu pula menghimpun cahaya, dan memantulkan ke arah tertentu, yang didalamnya ada dinding yang tak tembus dan terdapat pelita besar.

Pelita itu ada dalam kaca yang sangat bening dan bersih. Sehingga bagaikan bintang gemerlapan laksana mutiara.Pelita itu dinyalakan dengan bahan bakar, berupa minyak dari pohon yang ditanam di lokasi yang diberkati tanah subur, sehingga tumbuhnya sangat baik. Pohon itu adalah pohon zaitun (yang tumbuh ) di tengah. Tidak disebelah barat dan timur, sehingga selalu diterpa sinar matahari sepanjang hari.

Karena jernihnya, hampir-hampir saja minyaknya menerangi sekelilingnya.Walaupun pelita itu tidak disentuh api. Cahaya diatas (berlapis) cahaya ( Nur ‘ala Nur).

Demikianlah perumpamaan petunjuk Allah yang terbentang di alam raya ini, yang diturunkan melalui para Rasul. Allah membimbing kepada cahayaNya, siapa yang dikehendaki. Dan Allah membuat perumpamaan yang bersifat kongkrit dan indrawi, untuk memudahkan kepada manusia memahaminya ” (QS. Al-Nur (24): 35).

Ulama Tafsir:
Berbagai tanggapan ulama Tafsir, mengenai ayat diatas. Diantaranya:
Pertama, Tafsir Al-Baidhawi : Makna “Allah Nur ” (Allah Cahaya ) yaitu kaifiat menyandarkan kepada sesuatu, misalnya, si Zaid itu mulia, maksudnya si Zaid itu mempunyai kemuliaan. Jika disandarkan kepada Tuhan berarti, Tuhan mempunyai cahaya melalui perantaraan malaikat, seperti memberi cahaya bulan dan bintang yang ada di cakrawala..Dialah (Allah) pemberi petunjuk segala perbuatan sesuatu. Bentuk material atau spiritual. Petunjuk di dunia melalaui perantaraan Nabi. Itulah yang disebut ahli Tafsir Ibnu Abbas, cahaya itu “ Binurihi yahtadun”. (Melalui cahayaNya sebagai memberi petunjuk). Jadi, makna Nur ‘ala Nur, (cahaya diatas cahaya), jika disandarkan kepada cahaya lampu, maka minyak (zaitun) adalah menambah benderangnya sebuah cahaya lampu yang menggunakan minyak. Jadi, perumpamaan ini sangat dalam (maknawi) sebagai petunjuk bagi manusia dengan cahayanya Yaitu Nur Allah kepada kalbu mukmin. Dengan perumpamaan sebuah lampu, laksana cahaya matahari. Alhasil, hakikatnya, Tuhanlah yang memberi cahayaNya. ( Juz II: 124).

Kedua, Tafsir Aisar Tafasir: Makna Allah adalah Nur sebagai pemberitaan Allah, bahwa andaikata bukan Dia, tidak mungkin ada sebuah cahayapun di fenomena alam ini. Dan tidak mungkin pula ada hidayah di langit dan bumi yang menerangi keduanya. Maka melalui kitab dan rasulNyalah sebagai perantara yang memberikan cahaya berupa petunjuk, dalam kegelapan hidup. Baik berupa material maupun spiritual.

Adapun yang dimaksud Nur ‘ala Nur yaitu berupa cahaya dari nyala api, akibat pelita yang dinyalakan oleh minyak zaitun. Sedang yang dimaksud memberi petunjuk dengan cahayaNya, yaitu seperti iman, Islam dan ilmu.

Artinya, pada ayat inilah perumpamaan cahaya Allah yang diberikan kepada manusia, seperti yang dicampakkan ke dalam hati orang mukmin, bagaikan cahaya pelita memberi penerang. Dan jika seorang mukmin telah memeroleh petunjuk ilmu, bertambahlah petunjuk, dan itulah yang disebut “ Nur ‘ala Nur “ (Juz II :573).
Ketiga, Tafsir Al-Mizan: Makna Allah adalah Nur yaitu sesuatu cahaya yang dapat dibuktikan dari sesuatu yang terbuka. Baik di dengar, di lihat atau dirasakan adanya. Memahaminya dalam bentuk hakikat atau isti’arah. Jadi, Nur Allah itu disandarkan kepada langit dan bumi. Sama pengertian ayat lain “ langit dan bumi bertasbih kepada Allah”.Tetapi Anda tidak dapat mengetahui bagaimana bentuk tasbih langit (QS.Isra’ :44).

Artinya, makna cahaya langit dan bumi, sama halnya pengertian umum yaitu memberi wujud segala sesuatu dengan memberi cahaya langit dan bumi. Tidak lain, adalah rahmatNya. Sedang yang dimaksud Nur ‘ala Nur yaitu laksana cahaya kaca yang bening, cahayanya berlapis-lapis, dari pelita yang besar dan tidak mempunyai batas. Alhasil cahaya itu bukan cahaya pelita, tetapi hakikatnya yaitu cahaya iman dan makrifah yang masuk ke dalam hati orang-orang mukmin. ( Juz 15:124)

Keempat, Tafsir Al-Misbah: Pada umumnya ulama Tafsir mengartikan, bahwa ayat ini adalah gambaran cahaya petunjuk Ilahi. Nur adalah kebenaran yang diperoleh melalui petunjuk wahyu yaitu Al-Quran. Kebenaran itu diibaratkan pelita, yang didukung oleh banyak factor. Bermula dari celah dinding yang tiada tembus, kemudian dengan kaca yang bening yang dinyalakan minyak zaitun yang terbaik. Hasil dari keseluruhan itu, disimpulkan dalam ungkapan “ Nur ‘ala Nur” yang tidak terjangkau nalar dan imajinasi yaitu Sumber segala cahaya.

Pelita yang penempatannya dalam celah itu, menjadikan tidak padam merupakan pemeliharaan Allah. Sedang arti kaca yang bening adalah seperti penegasan Al-Quran, “ Dan sesungguhnya Kami telah turunkan kepadamu, ayat-ayat yang memberi penerangan” (QS. Al-Nur 34). (2OO5).

Dari empat Tafsir, baik yang konfensional atau yang kontemporer, dapat dipahami bahwa Nur itu adalah hidayah Ilahi melalui Al-Quran, menjadikan seseorang dapat beriman, berilmu dan berbuat sesuatu amal yang diridhai.

Wajah Allah.
Sejak abad I dan II Hijrah hampir semua ulama, enggan menafsirkan “Wajah Allah”.Yang diyakini ulama, hanya satu, bahwa wajah Allah bukanlah seperti makhluk. (Laisa kamitslihi syaiun). Wajah seorang makhluk adalah yang nampak pada dirinya. Wajah manusia adalah separuh bagian depan dari kepalanya.Dari pengertian ini wajah adalah totalitas dari sesuatu atau zatnya.

Namun, makna “wajah Allah” tidaklah demikian. Wajah Allah artinya, sifat-sifat Allah yang terpuji. Selalu menerima permohonan hambaNya dan kepadaNya segalanya, tempat manusia mengharap. Seperti hidup, ilmu dan kudrat. Sifat fi’ilnya,seperti Pencipta, Pemberti rezeki, Pemberi hidayah, nikmat dan rahmat
Namun, wajah juga adalah bagian yang termulia, dari sesuatu. Ditegaskan Al-Quran, “ Dan milik Allah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah” QS.2 : 115)

Menurut ulama Tafsir, ayat ini memilih arah timur dan barat untuk mewakili segala penjuru. Karena disanalah arah terbit dan terbenamnya matahari. Seluruh penjuru adalah milik Allah Karena itu, muslim di timur menghadap ke barat waktu salat, dan sebaliknya muslim di barat, menghadap ke timur. Masing-masing ke posisi Ka’bah. Allah adalah zat yang tidak terbatas, sedang manusia bagaimanapun hebatnya, pasti mempunyai keterbatasan.

Kehadiran Allah, ada dimana-mana, mengingatkan “ Wahai manusia, sesungguhnya engkau bekerja dengan sungguh-sungguh, menuju Tuhanmu, maka pasti engkau menemuiNya “ (QS.Al-Insyiqaq :6). Berdasarkan ayat ini, maka seorang muslim, hendaknya melakukan pekerjaan semata-mata dengan ikhlas, seperti ikrar setiap doa iftitah salat “Inna shalati wanusuki wamahyaya, wamamati, lillahi Rabbil ‘alamin”. Hal itu diikrarkan, supaya memeroleh ridhaNya, dan dapat melihat wajahNya .(puncak kenikmatan) di surga.

Akhirnya, memahami Allah Nur (Nur ‘ala Nur) ialah cahaya Tuhan itu berlapis-lapis, berupa hidayahNya. Bentuk material dan spiritual. Dan yang dimaksud wajah Allah ialah ridhaNya. Diberikan kepada hambaNya yang beramal dengan ikhlas: akan memeroleh balasan berganda (puncak), disamping menikmati surga, juga dapat melihatNya. Dan inilah pengertian hakikat Nur berdasar Al-Quran dan Hadis sahih. Dan bukan pengertian lain yang terkontaminasi filsafat Plotinus dan Hadis dhaif dari Jabir bahwa Tuhan itu memancarkan zatNya (emanasi), persis seperti bayang-bayang Tuhan, kepada Rasul SAW.. ( Wa Allahu a’lam ).

No comments: