Friday, November 16, 2007

Renungan Idul FItri

Bedug telah ditabuh. Tahmid, tahlil dan tasbih telah dikumandangkan. Idul Fitri telah berlalu. Tapi jalinan silaturahim masih berjalan dengan baik. Kartu lebaran memohon maaf masih berdatangan. Mensucikan diri dengan sesama manusia, setelah mensucikan diri dengan Al-Khalik, sebulan penuh dalam Ramadhan. Khususnya di mesjid pada jumat pertama sesudah lebaran, .khotbah dan pakaian jamaah masih baru. Bahkan masih terlihat juga situasi lebaran di kantor, di rumah, di bandara dan stasiun. Sekalipun sisa-sisa ketupat sudah tiada, tapi ditebus persediaan kue bercampur mentega masih ada di toples. Semua ini umat Islam melakukannya karena sadar bahwa mereka telah menemukan kembali fitrah kesuciannya yang pernah hilang, selama sebelas bulan.

Ribuan permohonan maaf telah diucapkan. Serangkaian ‘ritualitas’ yang dibangun dari seremoni Idul Fitri yang dirangkai dari bulan Ramadhan, kini masih dilanjutkan . dengan Halalbihalal.

Cukupkah ini untuk membawa dan mengawal rasa-rasa fitrawiah dalam diri manusia pada kesadaran sebelas bulan ke depan ?. Tentu tidak ada jaminan. Tergantung permenungan atas segala ibadah yang telah dilakukan. Permenungan yang mengantar mendapatkan hakikat puasa. Dan bukan sekedar lapar dan dahaga. Permenungan yang membawa kefitrahan di awal Syawal dan bukan sekedar pameran busana baru.

Permenungan yang mengantarkan untuk memahami dan memafkan orang lain. Dan bukan sekedar kiriman parsel, kartu lebaran atau jabat tangan, yang kadang dalam bentuk teramat artifisial. Merenung dianjuran pada setiap orang. Merenung adalah titik pembeda manusia dengan hewan yang hanya berdasar intuisi tanpa perenungan. Perenungan mengantar pada nilai kefitrahan manusia yaitu nilai sesungguhnya dari kemanusiaan.
Kemanusiaan:
Ada semacam titik singgung yang dimiliki Idul Fitri dan kemanusiaan. Idul fitri yang tidak sekedar pembersihan diri secara individual, tetapi juga diri manusia muslim secara kolektif. Dalam rangkaian Ramadhan, Idul Fitri dan Halalbihalal, nilai kemanusiaan-lah yang banyak berbicara. Karena segala tawarannya adalah pembangkitan kesadaran terdalam dari manusia yaitu nilai kemanusiaan.

Ramadhan menawarkan puasa yang merupakan latihan pemahaman nilai kemanusiaan. Puasa memberikan gambaran bahwa kepemilikan kita adalah kepemilikan yang dibatasi dan bukan kepemilikan mutlak. Puasa merupakan pernyataan ‘pembatasan’ penggunaan terhadap kepemilikan sesuatu yang halal. Bukan karena kita memiliki harta dan kekuasaan maka kita dapat menggunakan semua hal tersebut secara kelewat batas. Karena dalam wacana Islam, harta hanya merupakan titipan dan bukan untuk diprivatisasi.

Di bulan itu juga ada kaidah untuk mendoakan kebaikan bagi seluruh umat Islam. Ada doa yang disunnahkan oleh Rasulullah untuk selalu dibaca pada setiap shalat fardhu di bulan Ramadhan.“Ya Allah, bahagiakan para penghuni kubur. Ya Allah, lepaskan belenggu orang yang terbelenggu. Ya Allah, bahagiakan orang yang sedih, Ya Allah, bebaskan orang-orang yang tertawan, Ya Allah berikan jalan bagi orang-orang yang tersesat. Ya Allah, bangkitkan orang-orang yang tertindas. Ya Allah, kayakan orang-orang yang msikin. Ya Allah, kuatkan orang-orang yang lemah…”. Jika direnungi, ritual ini memberikan gambaran tentang pengakuan terhadap hak kemerdekaan setiap manusia, hak-hak hidup dan memperoleh kesejahteraan.
Zakat yang erat kaitannya dengan bulan Ramadhan, juga menawarkan penghayatan tentang arti penting pembagian dari ‘nilai lebih’. Orang lain yang berlebihan wajib hukumnya untuk membaginya dengan mekanisme tertentu. Ada yang namanya zakat, sadaqah, khumus dan cara lainnya. Harapannya agar terjadi pemerataan, baik secara ekonomis, maupun kesempatan. Sebuah aplikasi praktis Konvensi internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya. Padahal perintah puasa telah ada jauh sebelum konvenan tersebut ditandatangani. Bahkan Amerika yang megaku Kampiun HAM - pun belum meratifiksi konvensi ini.

Perayaan Idul Fitri juga menawarkan ritulitas yang sarat dengan persamaan. Jika kita renungi, ternyata setiap orang mempunyai hak untuk bergembira dan bersuka cita dengan lebaran ini. Disunnahkan untuk berkumpul di tempat tertentu untuk menggemakan takbir, tahmid dan tahlil. Kalimat-kalimat yang melambangkan keinginan untuk membebaskan manusia dari segenap penuhanan dan dari semua perbudakan. Adanya keinginan agar manusia tidak mempertuhanklan selain Allah. Dan keinginan membebaskan umat manusia dari segala jenis perbudakan. Tidak seorang pun yang boleh menjadi Tuhan bagi orang lain. Pengabdian tertinggi dan tertulus, hanya pada-Nya. Ini adalah pernyataan tentang hak-hak yang mendasar bagi setiap manusia.

Seremoni Halalbihalal meskipun bukan merupakan merupakan ritual yang diperintahkan secara langsung, tetapi ia telah menjadi budaya simbolik untuk saling maaf-memaafkan. Simbolisme adalah pertanda bahwa syari’at juga tetap diperlukan, karena di dunia yang nir-syariat maka chaos adalah keniscayaan. Pernyataan ini adalah pertanda bagi diperlukannya yang namanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Bahwa kita punya banyak hak, tetapi diantara memiliki hak tersebut, juga ada rambu-rambu yang harus saling kita sepakati untuk tidak kita langgar.

Hakikat kemanusiaan.
Idul Fitri dan rangkaiannya bukan hanya sekedar ritual, tetapi juga pernyataan ideologis, jika kita mau merenungi. Tentu perenungan dengan segala kekuatan spiritual-emosional dan intelegensial. Dengan menggunakan kekuatan iman dan ilmu untuk praktek kehidupan sehari-hari. Bukankah Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kamu ? (QS.Mujadilah 11)

Menurut ulama-ulama kontemporer, jika seorang muslim telah memenuhi segala kewajibannya dengan disertai iman, maka pada puncaknya telah dapat mengklaim martabat yang lebih tinggi dari orang yang tidak memenuhi standar keagamaannya. Dalam artian kedekatan kepada Sang Pemilik Hak, akan membuat kita mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.

Jika esensi perenungan bahwa martabat manusia di sisi Tuhan adalah takwanya ( Atqakum ), maka hikmah di balik Ramadhan, Idul fitri dan Halalbihalal identik tujuan perenungan yang dalam, tentang hakekat kemanusiaan yaitu mencintai orang-orang ekonomi lemah membuat kita akan lebih menghargai apa yang dimaksud dengan hakikat kemanusiaan. Melampaui perjuangan HAM di Barat.

Dan dari situlah perbedaan yang jelas antara Al-Khaliq dan makhluq, sehingga terciptalah keseimbangan yang harmonis antara hablum min Allah wa hablum min al-nas. Wallahu A’lam.
H. Mochtar Husein

No comments: