Saturday, November 10, 2007

Memuliakan Guru

Dalam bulan suci Ramadhan ini ketika kita selesai melaksanakan tarawih, Imam yang memimpin salat juga memimpin pembacaan doa, Ya Allah bebaskanlah kami, orangtua kami, guru-guru kami, isteri dan anak-anak kami semuanya, dari neraka ( Allahumma ‘atiq riqabana wariqaba abaina wa ummahatina, wa syaikhina, wa azwajina, wa awladina minannari ajma’in …) Apa sebab ?.Karena guru itu adalah orangtua kedua sesudah orangtua nasab. Orangtua nasab biasanya hanya mengisi perut, sedang guru mengisi dua kebutuhan yaitu otak dan pendidikan budipekerti.

Karena dalam Ramadhan terdapat malam pemutihan dosa, maka wajarlah semua yang berhubungan langsung dengan pembinaan diri kita sehingga menjadi manusia, kita doakan untuk membalas jasanya. Anda yang mungkin sekarang telah bertitel, mulai dari tingkat sarjana muda sampai Doktor, dan telah menikmati fasilitas keahlian dan keterampilan, tak lain berkat ilmu dan keterampilan yang ikhlas dari guru yang ikhlas yang pernah mendidik Baik guru mengaji, madrasah atau guru umum. Di tingkat kanak-kanak atau perguruan tinggi. Di zaman penjajahan, merdeka atau di era reformasi.

Perkembangan profesi guru, pada mulanya sangatlah mulia, dan dimuliakan orang, karena keikhlasannya dalam mendidik murid-muridnya.Namun akhir-akhir ini , sebagian guru motivasinya mulai bermacan-macam, misalnya ada yang sengaja membuka les di rumahnya.Murid yang tidak ikut, pasti tidak lulus, karena tidak membayar dan membeli diktat. Dan bertambah tercemarlah, ketika termuat di beberapa media massa, adanya guru olahraga yang mencabuli siswanya.Bahkan ada guru pesantren menggarap santrinya, dengan perjanjian apa saja yang diperintahkan, harus taat ( Na’udzu Billah ).

Karena terkontaminasinya sebagian guru, kita teringat pepatah “ guru kencing berdiri, murid kencing berlari “. Artinya, guru tidak lagi teladan bagi muridnya.

Kemudian dalam persepsi lain kita juga mendengar tentang guru yang mengancam mogok mengajar karena merasa gajinya kecil, akhirnya bertambah negatiflah persepsi kita tentang profesi guru yang dulunya terkenal ikhlas.

Bagaimana dalam Alquran ?.
Dalam Alquran seorang guru itu sama dengan ulama yaitu orang yang berilmu.Ilmu agama atau umum (Lihat QS.35:28 dan QS.26:196) Tapi, memenuhi dua syarat orangnya khasy-yah (takut) kepada Allah dan muslim ( menyerahkan diri ) kepada Allah setelah berusaha. Adapun tipe ulama (guru) ada 3 (Lihat QS.35 :32):

(l) Zhalim li nafsih
Artinya seorang alim (guru) ada yang masuk kategori suka menganiaya dirinya sendiri. Menurut Ibnu Taimiyah, zalim yang dikaitkan dengan diri sendiri (individu), menunjuk orang yang berilmu (guru), tapi masih suka melakukan dosa ( bukan kekafiran Al-Baidhawi menafsirkan, termasuk dosa-dosa kecil, sedang Tafsir Al-Mizan menafsirkan, yaitu orang alim yang masih sering melakukan dosa besar atau kecil.

Dengan melihat ketiga mufassir tersebut, ternyata bahwa Alquran menilai seorang alim (guru) yang zalim yaitu tetap mengajarkan ilmunya, tapi juga masih sering berbuat dosa, baik kecil apalagi yang besar. Guru yang demikian dianggap guru yang menzalimi dirinya sendiri. Jadi seorang ulama (guru) harus mampu mendidik dirinya lebih dahulu, yang oleh ahli pendidikan Ernest Gellner menyebutnya bukan guillotine yang diperlukan,tapi kualitas cerdik pandai.

Pendapat tersebut sejalan dengan gelarang yang diberikan al-Gazali kepada guru atau ulama zalim dengan istilah “ Ulamaussu’ “ (Orang alim yang jahat ). Ciri-cirinya yaitu :

(l) Tidak khasy-yah (takut) kepada Allah, (2) Mengutamakan harta ( menjual ilmunya ), (3) Suka mendatangi (meminta-minta) kepada penguasa atau kaum hartawan (demi kepentingan pribadinya ).

(2) Muqtashid ( Sedang) :
Muqtashid (Iqtishad) dapat dibagi dua : Pertama sesuatu yang terpuji. Kedua, gelaran yang berimbang antara yang terpuji dan tercela. Artinya tidak hebat (bagus), tapi juga tidak zalim (sedang).

Menurut Al-Mizan golongan sedang yang dimaksud ayat tersebut diatas ialah golongan Alim (guru) yang seimbang antara lahir dan batinnya. Atau ia berada diantara yang zalim dan sabiq (terdahulu). Atau golongan yang tidak minus dan tidak plus, yaitu sederhana. Dalam penafsiran lain, guru yang masih sering melakukan dosa-dosa kecil.(Juz 17:46).
(3) Sabiq ( Terdahulu) :

Kategori Alim (guru) yang ketiga adalah Sabiq. Makna Sabiq dalam Alquran, menunjukkan adanya perpacuan dalam kebaikan, sama dengan “ Fastabiqul khairat “ (Berpaculah dalam segala kebaikan).

Ciri-ciri Alim yang digambarkan Alquran sebagai yang masuk kategori Sabiq, dapat di lihat pada Alquran Surah al-Mukminun 6l “ …yang memberikan sesuatu dengan hati yang takut dan bersegera memperoleh kebaikan-kebaikan.” Penafsiran ayat tersebut, yaitu golongan Alim yang tidak lagi menyentuh perbuatan haram (dosa besar dan kecil), mempunyai keinginan yang proaktif dan terdahulu dalam segala kebaikan, khususnya membaktikan ilmunya yang ikhlas kepada masyarakat. Golongan inilah oleh Tafsir al-Mizan, disebut “ Ulaika al-Muqarrabun “ (Yang dekat pada Tuhan), yang akan masuk ke surga tanpa hisab.

Menurut Imam Abu Bakr al-Ajiri, kedudukan istimewa seorang alim ‘sabiq’ ialah ilmunya selalu siap memberantas kebodohan, maka wajarlah jika kita muliakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang tidak menunggu balasan.

Dari tiga kategori Alim di atas, niscaya yang kita dambakan dan harus kita muliakan terus adalah golongan terakhir (Sabiq). Sedang golongan Alim yang zalim dan muqtashid adalah golongan yang kurang dibutuhkan di era reformasi dan pembangunan moral bangsa. Jika seorang guru ingin tetap mulia dan kita muliakan, hendaklah menjadikan dirinya sebagai orang yang patut dimuliakan, dimana Tuhan sendiri akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu (amaliah), melebihi mukmin biasa.

Akhirnya kewajiban kita terhadap guru yang mampu mendidik dirinya lebih dahulu atau yang istilah Alquran Sabiq, sekalipun bukan guru agama, sama dengan kewajiban kita terhadap orangtua sendiri. Hendaknya kita selalu muliakan dan doakan keselamatannya seperti doa yang kita baca sesudah tarawih. Kita muliakan, kita bantu, apalagi jika mereka tergolong miskin. Dan adalah suatu pengkhianatan besar bagi seseorang, yang membenci guru yang pernah mengajarnya, sekalipun satu huruf.( Naudzu billah ).
H. Mochtar Husein

No comments: