Saturday, November 10, 2007

Hati yang Lunak

Pekan pertama Oktober yang akan datang, insya Allah, umat Islam akan memulai i berpuasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya., puasa selalu disambut dengan riang gembira. Mesjid dan mushalla penuhorang dipenuhi orang bertarawih.. Bahkan, sebagian rumah kediaman dan kantor, juga dipakai. Karena maraknya kegiatan ibadah, maka pada bulan ini banyak sekali dibutuhkan mubalig. Akibatnya, lahirlah mubalig karbitan (maaf). Mubalig yang asal hafal satu ayat atau hadis kemudian sudah berani berceramah, dengan . alasan klasik, kita disuruh hadis “ sampaikan biar satu ayat” ( walau ayah ).Lupa ada da kalau hadis lebih kuat “ … Jika diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggu hancurnya Fantazir Sa’ah) ”.

Maka tampiklah sang mubalig karbitan didepan mimbar mesjid. Ada yang salah baca ayat, ada tidak tahu bedakan mana hadis shahih, dhaif dan palsu. Bahkan ada yang menyampaikan provokasi gurunya dengan mengatakan, bahwa uraian yang disampaikan, tidak ada pada Al-Quran atau Sunnah, tetapi spesial dari gurunya yang memperoleh ilmu “Ladun” seperti nabi Khidir (Astagfirullah !).

Ada pula yang karbitan, kerjanya mencaci maki semata, atau menjadi seperti pelawak supaya digemari, atau dengan suara lantang, mencap sesamanya muslim sudah kafir, atau musyrik atau munafik, atau tukang bid’ah. (Ya Allah hambamu itu masih syahadat, salat dan puasa). Akibat ulah si karbitan, muncullah kesan negative, bahwa seolah-olah, ajaran Islam itu, bukan ajaran kedamaian, keselamatan dan penyerahan, seperti makna dasarnya Salima menjadi ISLAM.

Hati lunak
Nabi Muhammad SAW sebagai Dai (mubalig) pertama, dalam sejarahnya tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang, seperti “ Kamu Kapir, Fasik, Munafik atau Tukang Bid’ah ” .Kepada seseorang.yang non muslim, dipanggilnya dengan lunak , “ Ya ahli Kitab “ ( Hai yang punya kitab suci), “ Ya bani Adam “ ( Hai keturunan Adam), ” (Hai bangsa manusia), dsb..Padahal yang dihadapi, adalah mereka yang terang-terangan menentang Islam. Apalagi kepada sesama muslim. Berbeda sekali yang kita dengarkan dari yang karbitan.

Seluruh ahli dakwah sepakat, bahwa menyampaikan pesan-pesan agama itu, hendaknya lunak, dan menyentuh hati. Definisinya “ Minal qalbi ilal qalbi “ ( Keluar dari hati, menyentuh hati pula)

Dalam Bahasa Arab, hati itu disebut “Qalbu litaqallubih “ (Dinamakan qalbu, karena gampang berubah-ubah ).Sebab itu dalam Tahiyah akhir salat, seorang musalli dianjurkan membaca “ Stabbit qalby ‘ala dinika” (Wahai Tuhan yang dapat mengubah-ubah hati, tetapkanlah hatiku, agar konsisten memegang agamamu ). Artinya, seorang mushalli selalu memohon kepada Allah agar iman itu, jangan sampai berubah-ubah, seperti berubah-ubahnya pengaruh keduniaan.

Banyak ayat dalam Al-Quran yang mengarahkan betapa perlunya hati dan prilaku itu lunak, terutama seorang Imam ( pemimpin ) dan Da’I. Diantaranya “ Ya Muhammad jika kamu berhati keras niscaya mereka akan lari dari sekelilingmu “.(QS.3 :159). Artinya sebaliknya, jika kamu berhati lunak dalam berdakwah, niscaya mereka akan datang mendekatimu dan mempercayaimu. Hal ini dapat dilihat beberapa metode dakwah yang digariskan Al-Quran, misalnya :

(1) “Berdakwah dengan hikmah dan mau’izhah al-hasanah. ( bijaksana dan pelajaran yang baik) dan jika berdiskusi (dialog) dengan cara yang lebih baik (Ahsan ) (QS.al-Nahl : 125).

(2) “ Aku mengajak kalian ke jalan Allah dengan Basirah (keterangan yang nyata )” . (QS. Yusuf :1O8).

Lebih empati:
Menurut Doktor Yusul Al-Qardhawi, kedua ayat tersebut menjelaskan, bahwa dalam mengajak orang berbuat baik, hendaknya dilakukan dengan cara yang rasional dan menyentuh hati (Akal dan qalbu).Itu dimaksudkan, bahwa dalam menerangkan masalah akidah dan muamalah, bukan hanya dengan ancaman meninggalkan yang dilarang, tetapi hendaknya disertai dengan solusi. Sehingga terlihat bahwa kebaikan yang hendak dicapai, sedapat mungkin tidak meninggalkan problema baru. Demikian juga dalam berdialog, bukan dengan cara mencederai perasaan sesama manusia, sekalipun kita sedang sedang bersaingan. Artinya, ayat ini mengandung dua metode.

Pertama : dengan cara yang baik.(Bilhikmah wal mauizhah hasanah).

Kedua : dengan berdikusi dan dialog dengan cara yang lebih baik lagi (hiya ahsan). Mengapa harus demikian ?.

Karena dalam berdiskusi itu biasanya ada persaingan, sehingga sebagian orang condong membiasakan dirinya, ingin menjatuhkan lawan, atau mencederai, sehingga berusaha akan tampil jadi pemenang. dalam berdebat. Sebab itu metode Al-Quran, mengantisipasi jauh sebelumnya. Agar jangan sampai kebiasaan itu disandang juga seorang mubalig yang tujuaannya harus lebih empati.

Maka sebab itu “ Hiya ahsan” berarti ( Hendaknya cara yang lebih baik, dan lebih indah). Hal itu telah dipraktekkan Rasul, sehingga umatnya perlu meneladani. Dan sebagai gambaran bahwa Islam itu betul-betul ajaran yang rahmat, indah dan menawan.

Imam Al-Gazali pernah berkata, baik yang mengajak berbuat baik (Da’i) maupun yang yang diajak berbuat baik (Mad’u) keduanya hendaknya sama-sama berhati lunak. Dan diharapkan lebih lunak lagi, disertai kesabaran. jika yang dihadapi, adalah orang yang doyan berbuat kemungkaran (dosa besar).

Hal tersebut dapat dilihat, bagaimana pesan Tuhan kepada Nabi Musa dan Harun, ketika mengahadapi Fir’aun, yang memaklumkan dirinya Tuhan, kata Tuhan “ Berbicaralah kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut” (QS. Thaha 43).

Menurut sahabat nabi Ibnu Mas’ud, “ Perkataan yang disampaikan jika tidak sesuai otak dan sentuhan kalbu manusia, justru akan menimbulkan pitnah dan kontra.

Syekh Muhammad Abduh, lebih transparan dalam tafsirnya bahwa metode Al-Quran surah Al-Nahal 125, yaitu ada 3 golongan :

(1) Terhadap cendikiawan, hendaknya yang disampaikan, dengan cara pemahaman kritis, rasional dan argumentasi yang kuat.

(2) Terhadap yang awam, dengan nasehat yang baik dengan ajaran yang mudah dipahami serta mempunyai solusi.

(3) Terhadap mereka yang bukan dari keduanya, terutama kepada yang non muslim, hendaknya dengan cara yang lebih baik, sehat dan empati.

Akhirnya, berdasarkan Al-Quran, Sunnah dan ahli Dakwah, maka dakwah Islam itu hendaknya disampaikan dengan lunak dan menyentuh hati yang terdalam. Al-Quran sendiri dengan keindahan bahasa, kelunakan nada dan irama, yang spesifik lagu padang pasir, dapat mengubah hati yang keras, menjadi hati yang lunak, seperti yang dialami oleh Umar bin Khattab.

Sebab itu menurut penulis, dalam menyambut Ramadhan yad, sebaiknya Departemen Agama bekerjasama dengan IMMIM, melaksakan pembekalan mubalig, agar Islam tetap dapat dipahami dengan benar oleh masyarakat banyask (In uridu illal ishlah).

No comments: