Saturday, November 10, 2007

'Kegenitan' Husni Djamaluddin

Saya sangat suka mengagumi orang-orang yang diberikan penghargaan, atas karya, jasa dan kemampuannya. Tentunya bukan hal aneh, jika kemampuan seseorang, memang layak memperoleh apresiasi. Tapi, saya lebih suka lagi mengagumi, orang yang punya hal yang sama, namun tanpa tendensi mendapatkan penghargaa dan pengakuan. Karena ia bekerja berdasarkan perasaan cinta dan akal budinya secara maksimal. Suatu bentuk ciptaan Ilahi yang disebarkan kepada sesama. Hal seperti itu menurut saya, ada pada diri Saudaraku Husni. Teringat saya pada kata-kata Kahlil Gibran, “ Kerja adalah cinta yang mengejawantah, barangsiapa tiada sanggup bekerja berdasarkan cinta, maka lebih baik baginya mengemis pada orang-orang yang bekerja dengan cinta “. Bekerja dengan cinta dan sepenuh hati itu, membawanya kepada gelar di Indonesia Timur, sebagai “ Panglima Puisi ”. Andaikata ia berdomisili diibu kota, tidak sulit baginya jika dideretkan semisal Goenawan Muhammad yang pada tanggal 14 Agustus yang lalu, memperoleh penghargaan Freedom Insititut 2OO4 dalam kepatutan berkarya kesusastraan yang bersinambung.

Tanpa mengklaim sebagai orang yang dekat kepadanya, baik sebagai saudara atau sejawat, ketika bersama di DPRD Sulsel (1992-1997) atau sebelumnya, maka saya sukar melupakan adanya beberapa peristiwa “ kegenitan romantik”, istilah Goenawan Muhammad, yang dapat membawa seseorang pada nuansa rasa tertentu, tertawa sendiri atau pilu, karena melakoni peristiwa masa lalu. Namun, saya tetap ingin menyampaikannya beberapa peristiwa diantaranya, sebagai kesan dari pertemuan saya dengan dia.

Pertama, saya kenal sebagai orator ulung. Saya kira bagian dari kultur keluarganya yang terbentuk secara baik. Di tanah Mandar tempat kelahirannya, semua orang tahu bahwa ayahnya dahulu, pernah menjabat yang disebut “ Pa’bicara Kayyang” ( Juru bicara Mara’dia ). Dari dasar itulah, sering saya temui dalam berbagai diskusi dan seminar. Sebagai moderator atau pembicara, yang sukar ditumbangkan. Kalau bicara tentang sosil, budaya, ekonomi, jurnalistik, dan politik, okelah. Karena pernah ditekuni. Tapi yang sangat mengherankan, dia mampu juga bicara tentang masalah religius dengan menggunakan istilah yang fasih. Setahu saya, ia memahami ilmu Tasawuf, mirip yang dipahami Sir Doktor Muhammad Iqbal, seorang penyair, Ilmuwan dan Sufi yang mengatakan, “ bahwa ada perbedaan mendasar, antara Rasulullah dengan seorang Sufi. Dalam hal beribadah dan mendekati Tuhan, Rasul selalu kembali ke masyarakat mengurus masakin dan mengajak mereka beribadah dan mendekati Tuhan. Tapi, seorang Sufi beribadah dan mendekati Tuhan, lalu menginginkan abadi bersama Tuhan.

Kedua, saya pernah bersama shalat Jumat di Mesjid Nurul Amin, selesai shalat ia membuka pembicaraan tentang khutbah, yang terkesan khatibnya kurang menguasai materi, apalagi metode dakwah dan ilmu komunikasi sosial. Ia berkata dengan lirih, “ Sebenarnya saya kepingin berkhutbah, tapi saya tidak sanggup mempertanggung jawabkan khutbah, sesudah turun dari mimbar, karena dari segi ‘amalan (mengamalkan), sayalah yang pertama harus melakukan, apa yang saya telah khutbahkan .Jawaban Husni ini membuat saya terperangah, dan meyakini bahwa saudara Husni, termasuik sosok yang selalu berusaha mengamalkan yang diketahuinya ( ‘amalun bi’ilmih), seperti Imam Syafei. Teringat saya kisah Imam Syafei ketika ditanya muridnya, mengapa Imam tidak pernah berkhutbah pahala memerdekakan budak, lalu terdiam. Dan nanti setahun kemudian, barulah berkhutbah sesuai judul. Kemudian muridnya bertanya lagi, ”Mengapa Imam, barulah berkhutbah pahala memerdekakan budak sesudah berselang satu tahun ?” . Imam menjawab dengan suara perlahan, “ Karena satu tahun lamanya mengumpulkan uang, dan saya sudah merdekakan, barulah saya berhak khutbah sekarang, ”. Itulah jawaban sosok yang ‘amalun bi’ilmih.

Saya tidak tahu apakah saudaraku Husni sudah lama mengetahuinya kissah ini, atau karena memang derajat maqam-nya dalam penghayatan, adalah kepribadiannya.

Ketiga, ketika terjadi pemberitaan negatif tentang dirinya di salah satu media nasional, ia segera mencari wartawan yang menulisnya, dan menghajar wartawan itu. Setelah saya menjumpainya, ia berkata “ Terpaksa saya lakukan, karena wartawan itu tidak melakukan chek and rechek kebenaran suatu berita, seperti yang pernah saya ajarkan kepadanya. Disamping itu terlalu mengganggu kehormatan orang lain, yang sangat dibenci orangtua kita. Bagaimana pendapat anda ? “, ia sambung. Menurut saya, “ Sebenarnya, memaafkan itu jauh lebih baik ( Aqrabu littaqwa), tapi kalau nama kita dicemarkan atau dizalimi, ada literatur Islam yang menyatakan “ Al-Takabbur ‘alal mutakabbir, shadaqah “ (Takbur kepada orang takbur kepada kita, adalah sedakah ). Terserah penilaian seseorang , apa itu wajar atau tidak. Tapi mempertahankan kehormatan, ada dasarnya dalam budaya dan agama. Lagi-lagi ‘amalun bi’ilmih.

Renungan:
Hanya itulah diantaranya kesan, yang dapat saya nyatakan. Dan sesuai pula halaman yang disediakan panitia. Demi agar ‘amalun bi’ilmih bersinambung, baik saudaraku Husni (7O) dan diri saya (66) serta semua yang telah berumur melampaui Rasulullah, mungkin tidak jelek, jika kita simak kembali dialog seorang kakek, dengan penguasa di zaman Dinasti Abbasiyah (Abad ke 8 M) :

“Berapa umur kakek sekarang ? “, tanya sang penguasa.

“ Sepuluh tahun “’ jawab si kakek dengan yakin.

“ Jangan mempermainkan saya ! “, sahut penguasa yang mulai murka.

“ Saya sama sekali tidak mempermainkan, tuan “, si kakek menjawab. “ 6O tahun sebelumnya, usiaku kuhabiskan bergelimang dosa dan baru 1O tahun terakhir, betul-betul kujaga memakmurkannya “. Sang penguasa terdiam.

Saya sepakat dengan elan cerita ini, sebab seorang Mufasir menyatakan, kata “ ‘umur” itu akar katanya sama dengan “ ma’mur “(makmur ).Ma’mur ialah telah seimbang antara kesejahteraan materi dan rohani, jika seseorang masih suka berbuat dosa, belum dapat disebut ma’mur (berumur). Itulah hakikat kemakmuran.

Semoga Allah SWT senantiasa memberi kemakmuran kepada kita, dengan husnul khatimah. Amin ya Mujibassailin.

Mks, 22 Agustus 2OO4,

No comments: