Alhamdulillah, puasa Ramadhan telah kita laksanakan dengan baik selama satu bulan. Dalam satu bulan itu dengan tekun kita berhasil mengendalikan gejolak nafsu makan, minum dan seks di siang hari, dan pada malam harinya kita telah melaksanakan berbagai ibadah seperti salat tarawih, witir dan salat lain, dengan tekun. Kemudian pada setiap waktu yang tersedia, siang atau malam kita dapat dihiasi dengan sadaqah wajib atau mandub, tadarrus Alquran atau zikir yang lain. Akhirnya, dipagi yang cerah pada tanggal satu Syawal, kita tutup dengan luapan kegembiraan bersama anak cucu, tetangga dan sesama muslim se-kota tempat kita domisili.
Ujung-ujung puasa sesuai ayat “La’allakum Tattaqun” (QS.2:185). (Semoga memperoleh predikat takwa) yang pada hakikatnya berarti senantiasa berusaha menjauhi larangan dan mendekati suruhan Allah, sekalipun hanya satu bulan dalam satu tahun. Jika dianalogikan dengan pengisian tenaga baterei pada telepon genggam, maka Ramadhan merupakan pengisian ‘tenaga’ takwa selama 1 bulan, agar mampu difungsikan manfaatnya selama sebelas bulan berikutnya, sehingga masih tetap dalam situasi takwa dan tidak terkontaminasi dosa hingga hingga bulan Ramadhan mendatang
Bagaimana kaifiat agar predikat takwa itu bertahan?
Pengertian
Taqwa berasal dari Bahasa Arab, “Waqa –yaqi- wiqayah” yang dalam arti harfiahnya berusaha agar diri tidak menginjak ranjau-ranjau yang bertebaran di jalanan. Atau dalam ta’rif-nya, “Imtistalu awamirih wajtihabu nawahih” (Berusaha sekuat tenaga melaksakan perintah Allah dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjauhi segala larangan-Nya). Persis seperti yang telah kita lakukan satu dalam Ramadhan yang baru lalu, yakni yang mubah saja mampu kita kendalikan, apalagi yang namanya haram.
Intensitas imaniah dengan predikat takwa yang telah diperoleh dalam shaim baru-baru ini, adalah karya nyata yang telah terhujan didalam diri, hendaknya dipelihara sebagai bagian integral dari peningkatan sumber daya manusia. Intensitas imaniah itu hendaknya dipelihara minimal menjaga 3 hal, yakni;
Pertama, keseimbangan rohani jasmani. Kesehatan jasmani yang telah kita peroleh dengan pengaturan menu makanan bergizi, waktu makan minum yang teratur dan tidak berlebih-lebihan kemudian diimbangi dengan gerakan badan dalam salat malam berupa tarawih, tahajjud dan witir yang menjadikan kehidupan harmoni yang oleh istilah agama disebut sehat jasmaniah wal-afiat rohaniah.
Ajaran keseimbangan ini adalah prinsif dasar Islam yang dijarkan dalam doa, “Fiddun-ya hasanah wafil akhirah hasanah“ (Baik dalam kehidupan dunia dan baik dalam kehidupan akhirat)
Kedua, Keseimbangan mengkonsumsi makanan halal dan bergizi. Dari pengaturan makanan halal dan bergizi, baik diwaktu sahur atau berbuka, juga merupakan keberhasilan nyata bagi shaim dalam ibadah puasa dengan menjaga kesahihan aturan puasa dan kesegaran pahalanya. Hal ini sesuai perintah Alquran bahwa hendaklah mengkonsumsi makanan yang halal lagi bergizi (Halalan Thayyibah) (QS.Al-Nahl 114). Disaat dunia modern tidak memperhitungkan halal haramnya makanan, maka yang shaim menjadi juru selamat yang baik untuk melatih hidup bersih yang dilengkapi dengan sadaqah wajib atau mandub.
Ketiga, keseimbangan untuk mampu memparalelkan keikhlasan beribadah dengan sejumlah ibadah yang bervariasi dengan baik. Kalau dalam semua ibadah pada rukun-rukun Islam, gampang terjangkiti sifat riya’ (pamer), maka pada ibadah puasa yang baru dilakukan muslimin, sangat jauh dari pura-pura dan riya’. Sebab jika puasa seseorang dilakukan dengan berpura-pura, itu artinya sudah tidak puasa. Hal ini seakan ingin mengatakan bahwa berbuat ikhlas adalah hal yang sangat penting. Betapa banyaknya kesuksesan yang ditelorkan, jika berbuat ikhlas dalam bekerja. Sebab itu Alquran menggariskan “Liya’budullah mukhlishin” (Hendaknya menyembah Allah dengan ikhlas) (QS.Al-Bayyinah 6).
Menjauhi Sifat Serakah
Dari sekian banyak hikmah yang dihasilkan dalam ibadah puasa Ramadhan, hal yang menjadi inti utamanya adalah untuk mempertahankan ‘charge’ ketakwaan agar bersinar terus dari bulan ke bulan. Salah satu indikator yang sangat penting adalah sifat serakah yang sering menyerang tiap individu ataupun kelompok.
Dalam Alquran disebutkan, “Dan makanlah dan minumlah tapi janganlah berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. ). Di ayat lain dikatakan bahwa sesungguhnya kaum yang boros (serakah) itu adalah bersaudara setan, dsb.
Salah satu diantara kehancuran ummat, jika sifat serakah itu telah menyerang suatu kaum. Padahal pada mulanya hanya butuh sesuap nasi, lama-lama meningkat untuk keperluan satu bulan, kemudian untuk satu tahun, dan akhirnya memperhitungkan 7 turunan. Hal inilah yang menjadi pemicu timbulnya keserakahan sehingga harta sesamanya yang merupakan pemberian Tuhan pun, ingin dikuasainya. Akhirnya maraklah korupsi dan kecurangan dimana-mana, bahkan kalau perlu membunuh untuk memperoleh harta. Orang-orang seperti ini tidak mempermasalahkan lagi istilah halal, haram maupun syubhat.
Dari keserakahan seperti itulah maka ajaran Islam mewajibkan ada zakat wajib untuk harta, emas, perdagangan, sawah dan ladang. Kemudian ada sadaqah mandub setiap saat, ada infak tanpa terikat haul dan nisab, bahkan ada wakaf dan hibah yang dibolehkan memberi sampai sepertiga seluruh harta yang dimiliki. Semuanya itu adalah bertujuan membendung sifat keserakahan yang sering menyerang setiap pribadi atau kelompok.
Jika memperhatikan ayat pada surah Al-Taubah, “Wafi amwalihim haqqun lissailin“ (Dan dalam harta mereka itu ada hak bagi orang miskin), maka akan terlihat bahwa sebagian harta yang akan diberikan kepada kaum masakin itu sebenarnya adalah hak kaum tersebut dan bukan lagi hak keseluruhannya si pemilik yang berusaha.
Jadi, hakikat puasa dengan predikat takwa yang kita sandang adalah melahirkan kekuatan untuk melakukan pengendalian diri.
Seorang hukama berkata binatang melata saja, tidak rela melepas kendali nafsunya bahkan ketika ada hal-hal yang membahayakan jiwanya. Singa misalnya, ia lebih rela mati daripada memakan bangkai untuk memelihara kehormatan dirinya. Wajarlah jika Alquran mengecam manusia yang lepas kendali, bagaikan binatang bahkan lebih sesat (QS.25:44).
Sebuah hadis Nabi yang sudah populer, ketika kembali dari sesuatu peperangan yang menelan banyak korban, justru Nabi bersabda; “Raja’na min jihad asghar ila jihad akbar, wama hia ya Rasul? Qala, man jahada hawahu“ (Kami kembali dari peperangan yang kecil menuju peperangan yang besar. Yang manakah itu ya Rasul? Nabi menjawab perang yang lebih besar ialah memerangi hawa nafsu). Terutama nafsu buruk yang berupa keserakahan.
Akhirnya untuk memelihara predikat takwa yang kita peroleh di bulan Ramadhan yang baru lalu, maka hendaknya kita:
Pertama, tetap tekun menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan sekecil apapun, seperti yang telah kita lakukan dalam Ramadhan yang baru berlalu.
Kedua, hendaknya senantiasa memelihara intensitas imaniah yang kita rebut, berupa keseimbangan jasmani dan rohani, selalu menkonsumsi makanan halal dan bergizi serta berusaha agar seluruh kegiatan memprioritaskan keikhlasan.
Ketiga, karena predikat takwa yang kita peroleh hakikatnya adalah pengendalian diri terutama memerangi hawa nafsu kebinatangan, maka jihad akbar terhadap hawa nafsu itu bukan hanya kekuatan, akal pikiran dan kesadaran, tapi termasuk kebijaksanaan mengurus negara dan bangsa ini yang kian hari kian memperihatinkan dalam berbagai dimensi. Wallahu A’lam.
H. Mochtar Husein
No comments:
Post a Comment