Jika Anda menyaksikan pesan-pesan televisi akhir-akhir ini, maka anda pasti merasakan betapa jauhnya pesan-pesan moral yang ditampilkan. Adegan yang berbau porno, kekerasan dan mistik, itulah yang terbanyak menghiasi sepanjang malam. Sangat jauh berbeda sebelum reformasi. Kayaknya reformasi ini digunakan sebagai senjata ampuh untuk berbuat apa saja, asal memperoleh keuntungan materi. Betapa adegan yang titampilkan sangat jauh dari semangat awal dari pendirian sebuah media. Media yang seharusnya menjadi media yang mendidik dan memberdayakan masyarakat, tetapi telah berubah menjadi media yang banyak mempertontonkan hal-hal yang tidak etis. Seperti adegan kekerasan, pornografi, pornoaksi dan mistik.
Setidaknya ada beberapa permasalahan utama yang mendera dunia pertelevisian di Indonesia belakangan ini. Bahkan bukan hanya yang ada di Indonesia, tetapi hampir di seluruh belahan dunia mengalami hal yang serupa. Yakni, pertama, inkonsistensi tujuan dan pelaksanaan dari cita-cita awal stasiun tersebut. Misalnya, stasiun televisi yang memproklamirkan sebagai stasiun televisi pendidikan ataupun keluarga, tetapi kemudian berbagai tayangannnya tidak menunjukkan keseimbangan tema acara.
Setidaknya ada beberapa permasalahan utama yang mendera dunia pertelevisian di Indonesia belakangan ini. Bahkan bukan hanya yang ada di Indonesia, tetapi hampir di seluruh belahan dunia mengalami hal yang serupa. Yakni, pertama, inkonsistensi tujuan dan pelaksanaan dari cita-cita awal stasiun tersebut. Misalnya, stasiun televisi yang memproklamirkan sebagai stasiun televisi pendidikan ataupun keluarga, tetapi kemudian berbagai tayangannnya tidak menunjukkan keseimbangan tema acara.
Persoalan kedua yang juga diderita adalah mutu acara yang ditampilkan. Sangat banyak stasiun televisi yang menampilkan acara yang alih-alih untuk melakukan upaya perbaikan dan pendidikan, tetapi hanya menjadi acara pembodohan yang malah tidak mendidik sama sekali. Lihat misalnya, dengan beragamnya acara yang penuh dengan adegan kekerasan, pornografi ataupun pornoaksi.
Ketiga, stasiun televisi yang menjadi alat perpanjangan tangan kaum pemodal. Sehingga apa yang disampaikan, bukan lagi merupakan fakta sesungguhnya, tetapi sudah opini yang difaktakan. Ada frame yang dibangun terlebih dahulu, lalu dengan alat itulah ia menafsirkan fakta atau membidik fakta. Dalam ilmu komunikasi hal ini banyak disoroti dengan penggunaan analisa framming.
Keempat, patisipasinya dalam menyokong perubahan sosial yang menuju ke arah yang lebih baik. Televisi yang tergolong media massa menjadi salah satu pilar yang menyokong tegaknya negara demokrasi, sehingga seharusnya menampilkan realitas kebenaran dan bukan kebenaran yang dipilih-pilih.
Dari keempat permasalahan besar tersebut, maka akan timbul sebuah pertanyaan, seharusnya, seperti apakah tayangan sebuah media televisi?
Terhadap fungsi sosialnya, ada beberapa hal yang harus menjadi tanyangan media, karena hal itu memang merupakan tugas utamanya. Pertama, pemberi informasi. Ajaran Agama Islam menghendaki agar informasi yang diberikan kepada seseorang, sifatnya jujur, jelas dan transparan. Istilah Nabi yang berasal dari salah satu kata “Nabaa” artinya berita penting yang benar. Jadi seorang wartawan, memberitakan berita yang benar, disebut nabi (tapi bukan berarti rasul).
Dalam bahasa Arab, berita itu disebut “Khabar” (berita biasa) dan “Nabaa” (berita penting). Berita penting hendaknya diteliti dengan seksama sebelum memberitakanya. Dapat dilihat salah satu ayat dalam Alquran, “Jika seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak mengakibatkan suatu musibah kepada suatu kelompok, tanpa mengtahui keadaan (sebenarnya), sehingga kamu menyesali perbuatan itu”. (QS. Al-Hujurat (49): 6).
Menurut mufassir al-Maraghy, yang disebut orang fasik ialah “al-Khariju ‘an hudud Allah”, yang keluar dari hukum-hukum Allah, baik melalui mulutnya maupun perilakunya (al-Maraghy, 25 : 127). Dengan pemberitaan yang Islami, selalu dikaitkan dengan pembawa dan isi berita yang mengutamakan akhlak.
Kedua, media harus berperan besar dalam pendidikan. Pendidikan tersebut dalam berbagai hal, termasuk olahraga maupun kesenian. Di dalam dunia Islam mendidik seseorang sangat urgen, bahkan ayat yang pertama turun adalah Iqra (S.al-Alaq) yang memerintahkan belajar, membaca baik yang tertulis, maupun kejadian sehari-hari.
Media harus juga memerankan hal ini. Secara fungsional, acara-acara yang ditampilkannya harus dapat mendidik masyarakat menjadi lebih baik. Sangat disayangkan, jika televisi hanya menampilkan acara-acara sinetron yang kelihatan sangat ‘mewah’ dan menjauhkan dari realitas bangsa Indonesia yang penuh keprihatinan. Belum lagi tayangan-tayangan horor yang sangat berlebihan. Bukannya menjelaskan tentang alam ghaib, tetapi malah kelihatan dengan sengaja menakut-nakuti pemirsa.
Ketiga, Harus melakukan fungsi kontrol. Mengawasi, mengontrol, dan menegur, wajib dilakukan seseorang, sebagai penyalur pendapat hati nurani, sebab media massa termasuk kekuatan-kekuatan pendapat, selain DPR dan mahasisiwa. Kalau ketiga kekuatan ini lumpuh, maka penyelewengan - penyelewengan akan mudah terjadi. Kalau penyelewengan terjadi, maka rakyat akan menderita, dan penguasa tambah berani berbuat penyelewengan lebih marak.
Media massa wajib melakukan kontrol, koreksi dan saran, terutama kepada penguasa, yang bertujuan untuk kepentingan sosialisasi. Kegunaanya, terlepas dari siapa pemegangnya, karena pihak penguasa dalam catatan historis, selalu cenderung zalim, nepotisme dan memandang rakyat adalah budaknya. Lord Acton menuliskan tesisnya bahwa, “Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely”. Tapi dalam melakukan fungsi kontrol, seharusnya ada etika dalam bersikap. Tidak secara tendensius dan tanpa bukti yang sah. Tetapi, dengan investigasi pemberitaan yang baik dan benar.
Sosial kontrol dan koreksi, istilah agamanya “amar ma’ruf nahi munkar” (memerintahkan yang baik dan melarang yang buruk). Kewajiban itu selain menjadi tugas seorang Mubalig (Ulama), juga menjadi tugas utama dari sebuah media massa. Bahaya yang ditimbulkan bila hal ini diabaikan, dapat mendatangkan bencana secara umum, atau doa sama sekali akan tertolak. Dinyatakan dalam sebuah hadist Nabi, “Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran, lalu tidak berusaha menegurnya (menghentikannya), maka Allah akan mempercepat siksaaan secara umum, atau doanya tidak akan terkabul” ( R.Thirmudzi dari Abu Hudzaifah).
Itulah beberapa inti utama dari fungsi media massa yang selayaknya juga diperankan oleh media massa termasuk stasiun televisi. Bahwa televisi juga mempunyai fungsi hiburan, maka harus kita akui, tetapi jika seluruhnya adalah hiburan, maka akan diletakkan dimana, fungsi yang lain tersebut ?. Kalaupun ada fungsi lain tersebut, maka berapa persentasenya. Jangan-jangan mayoritas tayangannya, hanyalah hiburan semata.
Berangkat dari pemikiran inilah, maka mungkin menjadi harapan besar bagi stasiun-stasiun televisi untuk berfikir ulang tentang format acaranya. Acara kuis yang menyediakan hadiah jutaan rupiah dalam satu hari mengapa tidak di set up menjadi upaya pengentasan kemiskinan? Mengapa terlalu banyak acara-acara gossip yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi terus-menerus diberitakan, dengan intensitas siaran yang tinggi ? Mengapa banyak tayangan dengan beradegan kekerasan pada jam menonton anak-anak? Mengapa jam-jam prime time, diisi oleh tayangan-tayangan hiburan dan bukan tayangan dakwah? Dan masih banyak pertanyaan lain yang lahir dari perenungan terhadap kualitas tayangan televisi di negara kita ini.
Akhirnya kita semua terus berharap, akan munculnya stasiun televisi yang secara riutin menampilkan pesan-pesan moral dan terus melakukan fungsi-fungsi media massa seperti diatas. Mudah-mudahan harapan ini terbaca oleh TVRI yang sedang berulang tahun.
Kita rindukan.
H. Mochtar Husein
No comments:
Post a Comment