Friday, November 16, 2007

Ulama: Masa Lalu, Kini dan Akan Datang

I

Sebelum Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 M, seluruh jazirah Arab telah tunduk dibawah kekuasaan Islam. Ekspansi Islam pertama dimulai pada zaman Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq, kemudian dilanjutkan oleh sahabat, tabiin dan tabii al-tabiin. Pada saat itulah bermunculan ulama bagaikan bintang cemerlang dimalam kelam, menerangi dan memberi petunjuk kepada manusia.

Pada periode pertama, seorang umara sekaligus berfungsi sebagai seorang ulama. Namun setelah dikenal system dinasti, pemisahan mulai terjadi. Maka kategori ulama pun mulai bervariasi. Ada yang berani menentang umara yang zalim sekalipun resikonya adalah maut, ada yang mentolerir kebatilan, dan ada juga yang acuh tak acuh, tidak menjalankan fungsinya sebagai warastat al-anbiya’ (al-Badri : 9)

Keahlian ulama pada mulanya berfokus pada esensi Islam, yaitu Alquran. Maka yang cepat timbul adalah ilmu qiraah, sejarah dan tafsir Alquran. Kemudian setelah menemukan banyaknya ayat yang menganjurkan untuk menetili tentang manusia dan alam sekitarnya, lahirlah ilmu filsafat Islam yang sebagiannya dipengaruhi filsafat Yunani. Tidak lama kemudian, lahirlah berbagai disiplin ilmu (Jurji : 439).

Pada periode klasik, pembidangan ilmu (ulama) terbagi atas dua kelompok besar, yaitu ulama agama misalnya Tafsir, Hadis dan Kalam, serta ulama non agama misalnya filsafat, kedokteran dan matematika. Sementara pada periode modern (1800 – sekarang) pembidangan tersebut hampir sama pada zaman klasik. Pada abad ke-21 ini khususnya di era reformasi, sebagian masyarakat masih memahami dua pemisahan, yaitu ilmu agama dan umum.

Dalam makalah ini akan dibahas, apa yang disebut ulama, kategori dan perannya pada masa lalu, kini dan akan datang.

II

“Ulama” adalah jamak dari kata ‘alim’ yang struktur huruf-hurufnya berakar dari ‘ain-lam-mim’ yang bermakna : sesuatu yang mengandung kejelasan, seperti bendera, gunung dan alamat (al-Maqayis, 689). Kata alim (ilmu) dari berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali dalam Alquran. Khusus kata alim, semua menunjuk Allah yang mengetahui (terbanyak), namun terkadang juga menunjuk kepada manusia yang mengetahui.

Kata ‘ulama’ dalam Alquran terulang hanya dua kali. Pertama, dalam konteks ajakan Alquran untuk memperhatikan beragamnya buah-buahan, hewan dan manusia, kemudian diakhiri dengan kata ulama, sebagai berikut (artinya) :

Dan demikian pula diantara manusia, binatang-binatang melata dan ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan) jenisnya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Fathir (35) : 27 – 28)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa yang disebut ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang bersifat Kawniyah (fenomena alam).

Kedua, dalam konteks pembicaraan Alquran yang kebenarang kandungannya telah diketahui (diakui) oleh ulama Bani Israil, yaitu (artinya) : Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang yang terdahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengathuinya ? (QS. Al-Syu’ara’ (26) : 197).

Dari kedua ayat tersebut (QS.35 : 28 dan QS.26 : 197) tentang ulama, dapat dipahami bahwa ulama itu adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan yang jelas tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat Kawniyah (fenomena alam) dan atau Quraniyah : seperti seorang dokter, insinyur, sarjana agam, kiyai (gurutta’) dan sebagainya.

Akan tetapi karena semua perkataan tentang ilmu dalam Alquran selalu dikaitkan dengan sikap istislam (tunduk) dan khasy-yah (takut) kepada Allah, maka seorang ulama harus memiliki kedua syarat tersebut. Dari sinilah garis pemisah antara seorang ulamadan seorang sarjana atau cendikiawan yang tidak istislam dan khasy-yah. Bahkan menurut M. Quraish Syihab, pada dasarnya semua ilmu selama membawa manfaat, mengantar kepada khasy-yah dan terbuka untuk kepentingan semua manusia, adalah termasuk ilmu Islam (membumikan Alquran : 282).

Mengenai istilah lain yang juga searti dengan ulama dalam Alquran, antara lain : ulul albab, ahl al-Dzikr, ahl al-Fiqh (fuqaha) dan ahl al-Hikmat (Hukama’). Hukama’ adalah bobot ulama yang tertinggi nilainya dan Fuqaha’ adalah istilah ulama yang paling dikenal di Indonesia, sebagai masyarakat yang fiqh minded.

III

Sebelum menjelaskan kategori ulama, lebih dulu perlu disinggung tentang istilah ulama sebagai pewaris nabi-nabi.

Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dikatakan antara lain : Inna al-‘ulama’ Warastat al-anbiya (Sesungguhnya ulama itu mewaris Nabi-nabi). Hadis tersebut manurut sebagian pakar hadis masih dipermasalahkan kesahihannya (fat-h al-Bariy, I : 160).

Tanpa mengurangi, namun dapat dijadikan alas an yang kuat bahwa hadis diatas, ada relevansinya dengan Alquran tentang pewarisan kategori ulama (artinya) : Kemudian Kami wariskan al-Kitab itu kepada yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri; ada yang pertengahan, dan ada (pula) diantara mereka yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian, adalah kurnia yang amat besar (QS. Fathir (35) : 32).

Menurut Fahmi Abd al-Wahhab, dengan pewarisan ilmu kepada para ulama, dimaksudkan bahwa Allah telah memilih hamba-hamba-Nya sebagai manusia pilihan yang mempunyai kelebihan, seperti Nabi dengan umatnya (warastat al-‘ulama’ : 26).

Untuk lebih jelasnya perlu dibahas secara singkat ketiga kategori tersebut :

1. Zalim li nafsih :

Menurut al-Thabathaba’I, zalim li nafsih ialah muslim ahli Quran (ulama) yang masih sering melakukan kejahatan (al-Mizan XVII : 46), baik terhadap dirinya atau kepada orang lain.

Istilah zalim li nafsih, relevan dengan istilah yang pernah dilontarkan al-Ghazali (w. 1111) yaitu ‘ulama ‘al-Su’ (ulama jahat). Ia membagi kepada dua bagian : ulama akhirat dan ulama dunia. Ulama akhirat ialah yang ber-khasy-yah dan zuhud, sedang ulama dunia didalamnya terdapat ulama al-Su’, yaitu (1) Ilmuanya dijadikan mata pencaharian dengan menjual ayat-ayat Allah, (2) suka mengunjungi pihak penguasa (Ihya’ I : 61).

Imam al-Ghazali berpendapat seperti itu dengan alasan :

(1) Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) : Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya. Kemudian mereka melemparkan janji itu kebelakang punggung mereka, dan mereka menukarnya dengan harga sedikit. Amatlah buruknya dengan tukaran mereka …. (QS. 3 : 187).

(2) Hadis riwayat Ibnu majah : Seburuk-buruk ulama ialah yang suka mendatangi umara (penguasa) dan sebaik-baik umara ialah yang bersedia mengunjungi ulama (R. Ibnu majah dari Abi Hurairah).

Bila kita cermati kedua lasan tersebut, terdapat beberapa kelemahan, antara lain :

Pertama : QS. 3 : 187 menurut Mufassir al-Imadi, dimaksudkan khusus ulama Yahudi dan Nasrani yang sengaja menyembunyikan ilmunya dan menukarnya dengan harga dunia, seperti menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya, yang tertera dalam kitab mereka (Abi al-Suud I : 617)

Kedua : Alquran tidak melarang menentukan upah dalam suatu transaksi, baik untuk urusan dunia atau dien. Dapat dilihat misalnya : Berkata (Syu’aib) : Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dari salah seorang dari kedua anakku, atas dasar bahwa kamu bekerja delapan tahun ….(QS. 28 : 27)

Dengan demikian menerima imbalan dalam urusan dunia dan Dien, apalagi sekedar ongkos transportasi dalam memberikan pelajaran, tidaklah termasuk menjual ayat-ayat Allah.

Ketiga, Hadis Ibnu Majah yang digunakan di atas, oleh para pakar hadis dinilai sebagai hadis dha’if (Sunan Ibnu majah I : 96).

Keempat : membandingkan hadis Muslim yang dinilai oleh pakar hadis sebagai hadis Shahih, seorang ulama diwajibkan menyampaikan dakwah (nasehat) kepada seluruh kelompok masyarakat tanpa kecuali.

Nabi pernah bersabda : Agama itu adalah nasehat, kami bertanya kepada siapa ? Rasul menjawab, Kepada Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kepada pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan orang-orang banyak (R. Muslim dari Tamim al-Dariy).

Dari keterangan tersebut dipahami bahwa menjdatangi pihak penguasa (pejabat) dalam rangka dakwah, amar makruf nahi munkar demi kemaslahatan umat, tidak pantas dimasukkan sebagai kategori ulama al-Su’. Imam besar Hujjatul Islam, al Ghazali terlalu sinis terhadap ulama, karena pada zamannya banyak ulama yang digarap penguasa dengan iming-iming harta dan beliau sendiri hidup sebagai sufi yang zuhd.

Akan tetapi jika seorang ulama mendatangi umara atau hartawan dalam rangka melegitimasi kebatilan yang tujuannya untuk menjilat, atau meminta-minta untuk kepentingan pribadi, maka jelaslah termasuk didalamnya ulama zhalim (ulama’ al-Su’). Demikian pula ulama yang masih sering melakukan dosa, sekalipun masyarakat memberinya gelar kiyai.


2. Muqtashid

Muqtashdi berasal dari struktur huruf-huruf ‘ Qaf-Shad-dal’ yang mempunyai makna (a) mendatangi sesuatu (b) Menghancurkan (c) Menghemat (sederhana) (maqayis : 891). Menurut al-Ashfahami, Muqtashid itu ada dua bagian (a) yang terpuji, yaitu pemurah misalnya dalammkonteks kikir dan boros (b) gelaran yang berimbang dalam konteks adil dan zalim atau antara jauh dan dekat (al-Mufradat : 404).

Menurut sebagian mufassir, ‘Waminhum muqtashid’ (QS. 35: 32) yaitu yang sudah melaksanakan yang wajib, meninggalkan yang haram, tapi masih melakukan sebagian yang makruh dan meninggalkan sebagian sunnat (Ibn Katsir III : 554).

Berbeda dengan al-Thabrasi dan al-Thabathaba’I yang menafsirkan bahwa ‘Waminhum muqtashid’ yaitu golongan ulama yang ketaatannya berada pada tingkatan sedang (sederhana), tidak termasuk kategori zhalim (aniaya) tetapi juga tidak termasuk dalam golongan yang sabiq bi al-khayrat (berpavu dalam kebaikan). (M. al-bayan V : 408 dan al-Mizan XVII : 46).

Dari makna dan penafsiran tersebut dipahami bahwa ulama muqtashid adalah golongan ulama yang sedang (sederhana), amalnya kurang, ilmunya kurang dikembangkan dalam masyarakat dan tidak melakukan mar makruf dan nahi munkar.

Baik golongan ulama tipe pertama (zalim) maupun yang kedua (muqtashid), keduanya kurang dibutuhkan dalam perkembangan dunia modern yang multi dimensional baik di era reformasi ini, maupun dimasa yang akan datang.

3. Sabiq bi al-Khayrat

Kategori ulama ketiga adalah sabiq bi al-khayrat (berpacu dalam kebaikan) (QS. 35 : 32). Menurut sebagian mufassir :

a. Ibnu Katsir : Yang dimaksud dengan Sabiq bi al-Khayrat ialah golongan mukmin yang mengerjakan yang wajib dan sunnat, meninggalkan yang haram dan makruh serta meninggalkan sebagian yang mubah. Golongan inilah yang akan masuk ke surga tanpa hisab. (Ibn Katsir III : 554).

b. Al-Thabrasi : Golongan sabil bi al-Khayrat ialah golongan yang batinnya lebih baik dari lahirnya, padahal lahirnya sendiri sudah sangat baik (Al-Bayan VII : 408).


c. Al-Thabathaba’I : Golongan ini adalah golongan ulama yang lebih baik dari zalim yang muqtashid, yang dalam Alquran disebut ‘Ulaika al-Muqarrabun’ (Mereka itulah yang lebih dekat kepada Allah) (al-Mizan XVII : 46).

Dari beberapa penafsiran tersebut, maka golongan Sabiq bi al-Khayrat adalah golongan ulama yang kebaikannya banyak, jarang sekali melakukan pelanggaran, berani menegakkan yang hak dan berusaha mengembangkan ilmunya dengan ikhlas.

Kategori ulama tipe inilah yang lebih patut disebut ‘warastat al-anbiya’, perlu dititu dan sangat dibutuhkan dalam era reformasi ini, untuk mencapai izzul Islam, mengitari dunia dengan satelit-satelit medan magnit Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.

IV

Peran ulama dalam Alquran sangat banyak, terutama bila disebut sebagai warastat al-anbiya’, sekalipun pewarisan itu bukan kenabiannya. Dapat dilihat misalnya dalam menyampaikan pesan-pesan agama (tabligh) (QS. 5 : 67), tib-yan (menjelaskan ajaran Islam dengan transparan) (QS. 16 : 44), Tahkim (Memutuskan perkara berdasarkan Alquran) (QS. 2 : 213), Uswah al-Hasanah (Keteladanan dalam pengamalan) (QS. 33 : 21)

Adapun peran utama dan sekaligus harus dipertanggungjawabkan adalah ‘al amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar’ (amar makruf nahi munkar).

Dijelaskan dalam Alquran (artinya) : Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran (3) : 104).

Ayat tersebut dipahami bahwa al-khayr (agama) hendaknya dilakukan dengan seruan (ajakan), al-makruf dilakukan dengan perintah, al-munkar juga dengan penrintah meninggalkan (mencegah), karena al-Khayr adalah nilai-nilai agama yang mungkin masih baru dan memerlukan latihan, sedang makruf dan munkar adalah nilai yang sudah ada dalam masyarakat, tapi tidak bertentangan nilai agama.

Antara mar makruf dan nahi munkar hendaknya dilakukan dengan seimbang. Kalau seorang ulama memiliki skala prioritas, maka nahi munkar didahulukan, karena lebih besar bahaya (siksaannya) jika ditinggalkan. Menimpa orang-orang yang berbuat zalim dan tidak zalim (QS. 8 : 25), seperti krisis yang dirasakan bangsa Indonesia sekarang, karena 32 tahun lamanya hampir-hampir tidak terdengar adanya nahi munkar yang didengungkan kaum ulama, cendikiawan, dan mahasiswa.

Mufassir al-Shabuni berpendapat tentang QS. 8 : 25, orang zalim akan binasa dengan kezalimannya, orang saleh yang tidak zalim, akan binasa karena tidak mencegah orang-orang yang berbuar kemungkaran (Shafwat I : 500). Didalam sebuah hadis Nabi (artinya) : “ … Sesungguhnya seseorang yang melihat kemungkaran lalu tidak berusaha mencegahnya, maka Allah aakn mempercepat siksaan secara umum atau doanya tidak akan dikabulkan “ (R. Turmudzi dan Hudzaifah).

Dari ayat dan hadis tersebut dapat dipahami bahwa, nahi munkar hendaknya didahulukan. Disamping karena peranannya menghidupkan ruh Islam, juga merupakan tameng agar siksaan Tuhan tidak berlaku umum dan doa tidak tertolak.

Kelemahan besar yang perlu kita akui semua adalah selama lebih dari 50 tahun merdeka, 20 tahun didendangkan orde lama, kemudian 30 tahun lebih dalam cengkeraman orde baru yang keduanya bernuansa kediktatoran, dan baru beberapa bulan hidup dalam era reformasi. Ini berarti bahwa kita baru saja belajar merasakan sinarnya fajar shadiq, sesudah setengah abad lamanya dalam fajar kazib.

Peran ulama dalam era reformasi, hendaknya lebih terarah, ,menukik, terprogram dan mampu menyinarkan fajar shadiq, bukan hanya jangka waktu setengah abad mendatang, tetapi lebih dari itu bahkan seribu tahun depan.

Sebab itu amar makruf dan nahi munkar dari seorang ulama, cendikiawan senior (dosen) dan cendikiawan muda (mahasiswa) hendaknya berkesinambungan dan mampu meningkatkan tatanan kehidupan masyarakat :

Seluruh anggota keluarga dalam masyarakat, dapat melakukan tugas dengan baik, berkualitas iman, ilmu dan amaliahnya, serta menjauhkan mereka dari KKN;

Seluruh anggota keluarga, dapat mencukupi kebutuhan materialnya yang diperoleh dengan jalan halal dan tidak terlalu memberatkan jasmani dan rohani;

Mampu membina etos kerja, ukhuwah dan kerukunan antar umat beragama dan intern umat Islam dari berbagai organisasi dan partai yang bermunculan.

Mengutamakan kepentingan umat, utamanya kaum dhuafa’ walmasakin daripada kepentingan pribadi atau golongan, nepotisme dan koncoisme yang telah kita rasakan akibatnya (QS. 59 : 9 dan QS. 21 : 107)

V

Simpulan yang dapat ditarik dalam makalah ini antara lain : Ulama menurut Alquran ialah sekelompok orang-orang yang mempunyai pengetahuan, baik bidang Quraniyah dan atau bidang Kawniyah (fenomena alam) yang senantiasa tunduk dan khasy-yah kepada Allah. Ulama terdiri atas tiga kategori : ada yang zalim (ulamaussu’), ada yang muqtashid (sederhana), dan ada yang sabiq bi al-Khayrat (berpacu dalam kebaikan). Yang ketiga (terakhir) adalah type ulama masa lalu yang didambakan pada masa kini (era reformasi) dan akan datang, yaitu yang ilmunya lebih komprehensif dan mengutamakan persatuan.

Peran seorang ulama (bidang Quraniyah atau Kawniyah) di era reformasi, lebih proaktif dalam amar makruf nahi munkar, lebih berani mengemukakan yang haq, sekalipun di depan penguasa yang zalim, istiqamah, hidup sederhana, mampu menjadi panutan, serta mampu mencarikan solusi terhadap problem masyarakat sekelilingnya, seperti mempersatukan umat.

Nashrun minallah wa fat-hun qarib.
H. Mochtar Husein

No comments: