Saturday, November 10, 2007

Membantu Fuqara

Mencuatnya sederetan kasus busung lapar di negeri ini, selain menggugat nurani kemanusiaan, juga mencengankan. Betapa tidak. Para penderita dikabarkan, berasal dari kawasan yang dijuluki lumbung padi atau produk pertanian lainnya.(Kompas 23/6).

Pada bulan Ramadhan yang lalu juga ada berita yang menyedihkan, empat wanita meninggal, karena terinjak-injak saat pingsang, dalam antrean pembagian sedekah berupa uang Rp 2O ribu dan sehelai sarung di halaman rumah milik Habib Ismet Al-Habsyi, Jalan Raya Pasar Minggu No.25 Jakarta.

Dri dua berita menyedihkan itu disamping berita kemiskinan lain akhir-akhir ini, sungguh menyayat hati nurani kita yang paling dalam. Yang sangat mengherankan, pertama karena kasus busung lapar berada di kawasan lumbung padi. Yang kedua, karena kamatian empat wanita, justru di bulan suci Ramadhan yang banjir sumbangan. Artinya, makna dan kaifiat menyumbang yang tidak tepat.

Di negara maju juga, bagaimanapun kayanya, juga ada orang miskin, misalnya yang pernah penulis saksikan di Jepang, ketika meninjau istana kekaisaran di Jepang. Jalanan menuju lokasi terlihat ada kelompok dibawah pohon-pohon rindang, manusia yang berpakaian kumuh, menunggu pemberian. Kata orang, itulah orang miskinnya yang tidak mau kerja. Tapi pangannya ditanggung pemerintah dengan rapi. Jadi peranannya, hanya semacam tontonan dan rekreasi, sebelum melihat istana. Demikian juga di Australia Selatan, di suatu lapangan pembatas antara gedung bertingkat dengan bangunan pertokoan, terdapat sekelompok manusia yang juga berpakaian kumuh, duduk semraut dibawah pohon. Konon, mereka adalah penduduk asli Aborogin yang miskin, tapi lagi-lagi ditanggung pemerintah. Sebenarnya di Indonesia juga, orang miskjn ditanggung pemerintah sesuai undang-undang dasar, tapi karena keterbatasan dana atau terlalu banyaknya musibah yang harus diprioritaskan, akhirnya pemerintah SBY-MJK hasil pilihan langsung rakyat, baru akan mengarah kesana. Akibatnya bengkalai masa lalu menyebabkan masih berkeliaran Fakirmiskin. Semoga tidak terlalu lama kita menunggu bayangan positif mengentaskan orang miskin.

Bagaimana menurut Al-Quran ?.
Menurut Bahasa Arab, Fakir berasal dari kata “Faqara” yang artinya orang yang patah tulang belakangnya. Atau orang yang sangat berhajat kepada sesuatu, karena miskin. Atau orang yang papa dan termiskin.

Kata Miskin, juga berasal dari Bahasa Arab “Sakana” yang berarti diam, tidak banyak bergerak, karena miskin. Inilah yang terbanyak di negeri kita.

Dalam Ilmu Fikih, orang miskin ialah orang yang berpenghasilan rendah, dan tidak mencukupi penghasilan yang ia peroleh. Sedang fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak berpenghasilan. Kedua istilah ini sering digabung menjadi Fakirmiskin, sebagai gambaran orang yang lemah dan perlu di tolong.

Menurut salah satu ayat dalam Surah Al-Ma’un, seorang muslim sekalipun ia mengerjakan salat masih dapat disebut orang celaka, jika tidak suka membantu orang miskin.

Bahkan makna Pendusta agama itu, diantaranya orang yang “ WALA YAHUDDHU… “( Orang yang tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin ).

Menurut ulama Tafsir WALA YAHUDDHU berarti, tidak menganjurkan. Atau tidak menyadari dan tidak menangani orang miskin sebagai tugas tugas kita semua. Termasuk bagi mereka yang hidupnya menengah ( pas-pasan ) Jika tidak memungkinkan dapat menyumbang uang dan harta, maka yang harus dilakukan adalah menyumbangkan tenaganya dengan jalan menganjurkan atau ikut Tim yang dapat mengentaskan orang-orang Miskin.

Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa orang-orang yang akan menghuni neraka nanti ialah orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula mendorong orang lain, memberi makan orang-orang miskin diserkelilingnya.
.
Hak orang miskin:
Menurut Al-Quran, WAFI AMWALIHIM HAQQUN LISSAILIN (Didalam harta mereka ( yang kaya) terdapat hak orang-orang peminta-minta dan tidak meminta ) (QS 51:19).

Hal ini dipahami, nahwa harta benda yang bertahun-tahun kita kumpulkan, bukan seluruhnya milik kita, sekalipun kita sendiri yang berusaha dan membanting tulang. Sebagian kecil didalamnya kepunyaan orang miskin.Bahkan kata kasarnya, jika kita gunakan sendiri, kita dianggap termasuk kelompok perampas hak orang miskin. Agama mewajibkan kita memberikan sebagian kepada mereka yang miskin. Tidak banyak. Zakat itu tidak berkisar antara 2, 5 – 2O % pertahun. Tapi sebagian mufasir menganjurkan, setiap menerima rezeki, langsung dikeluarkan juga seketika, karena ditafsirkan masuk kelompok “ghanimah ” (rezeki mendadak), semacam honor atau jasa dari keahlian.Dan Inilah yang diperaktekkan sebagian negeri-negeri Islam di Timur Tengah, sehingga orang miskinnya berkurang.

Jika kita berpikir rasional,sebenarnya harta benda yang dikumpulkan orang yang berpunya (aghniya) , sebagian dari jasa yang ikut bermandi keringat, ketika mengangkat harta itu misalnya dari pelabuhan ke gudang, waktu barang-barang itu diimpor atau diekspor. Sebab itu wajar juga, jika memperoleh bahagian kecil.

Alhasil, pemberian yang disumbangkan kepada orang miskin, memang awalnya adalah haknya sendiri, lalu diperkuat Al-Qutan. Dan tidak akan merugikan orang mampu ( aghniya ).

Harta bertambah:
Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, bukan berkurang, tapi akan semakin bertambah. Al-Quran menyebutnya “WAYURBI SHADAQAT “(Allah menghancurkan sistem riba dan mengembangbiakkan sedekah) (QS.2: 276)

Untuk membuktikan kebenaran ayat ini, penulis pernah membaca riwayat hidup seorang pengusaha sukses di daerah ini. Ketika keuangannya melaporkan saldo kas sisa sedikit, justru diperintahkan kepadanya, untuk mengeluarkan semuanya dan membaginya kepada orang-orang miskin. Apa yang terjadi ?. Dalam waktu yang relative singkat, uang yang dibagikan itu terganti, mebihi dengan yang telah disedekahkan.Boleh dicoba asal ikhlas.

Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara sikaya dan miskin. Sebab lanjutan ayat yang memerintahkan agar yang menerima sumbangan dianjurkan Al-Quran “WASHALLI ALAIHIM…(Berdoalah untuk mereka, sehingga membawa ketenteraman bagi pemberi sumbangan.).(QS. 9 : 1O3).

Berdasarkan ayat tersebut, maka aghniya hendaknya dengan ikhlas menyerahkan sebagian hartanya dan masakin, hendaknya berterima kasih dengan berdoa, agar lebih murah rezekinya para penyumbang.

Untuk menghidari kemungkinan terjadi korban antrean mustahik menunggu sumbangan seperti bulan Ramadhan yang lalu, sebaiknya orang yang membagikan zakat itu proaktif. Bukan didatangi, tapi mendatangi. Salah satu makna “Atu al-zakat ” dalam Al-Quran berarti proaktif pergi ke lokasi membagi. Itulah arti Walmarhum ( yaitu miskin, tapi tidak pergi minta-minta), karena malu sehingga wajib bagi amil mengantarkan. Inilah kaifiat pendistribusian sedekah yang benar.

Akhirnya, makna menyumbang (Atu zakat ) kepada orang miskin ialah senantiasa siap bergerak membantu sekalipun dasarnya adalah kewajiban Negara, sesuai undang-undang. Tapi karena Islam mewajibkan lebih dulu sesuai Al-Quran, maka kita semua harus membantu pemerintah. Bantuan “ aghniya ” sesuai keikhlasan. Minimal sama kadarnya kewajiban zakat tahunan ( antara 2,5 % sampai 2O % ).Tapi bantuan yang lebih baik seperti yang dilakukan Rasul adalah membantu yang produktif. Hal itu ditempuh juga di Korea yaitu petani penyewa diubah statusnya menjadi pemilik. Dan bantuan berikutnya berupa bibit, air dan kredit murah.

Bantuan muslim yang berpenghasilan menengah, minimal ikut menjadi Amil ( panitia), sehingga semua muslim rata-rata berada dalam koridor pencinta rakyat miskin seperti sifat Rasulullah SAW.

Untuk menghindari pembagian yang dapat membawa bencana, kaifiatnya mengantarkan ke gubuk orang miskin, seperti yang dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab RA.




No comments: