Tanpa terduga sebelumnya, tiba-tiba kita dikejutkan lagi adanya korban di Mina yang istilah agamanya “Syuhada Jamarat Mina“. Sama beberapa tahun lalu dengan istilah “Syuhada torowongan Mina”. Menurut penulis “Syuhada” yang baru-baru ini memperoeh dua kesyahidan. Pertama karena haji itu sendiri adalah jihad. Kedua, pelaksanaan melempar jamrah itu adalah bagian terberat dalam pelaksanaan haji, karena setelah menguras tenaga di Arafah sehari semalam tanpa istirahat, harus berjalan kaki beberapa kilometer berdesak-desakan dengan lokasi yang paling sempit dikunjungi sekitar tiga jutaan orang atau lebih dalam waktu bersamaan.
Sebenarnya mereka yang syahid itu sangatlah menyenangkan, karena mereka bagaikan mujahidin dalam peperangan yang telah memenangkan peperangan karena telah haji. Andaikata seseorang hanya hadir sebentar antara waktu Lohor dan Magrib, tanggal 9 Zulhijjah di Arafah, sekalipun dalam keadaan sakit keras, tanpa membaca doa walaupun satu kalimat, maka hajinya dianggap sah, karena Nabi pernah bersabda : “ Al-hajju ‘Arafah “ (Haji itu ialah Wuquf di Arafah ) (HR. Bukhari).
Yang menjadi masalah, apakah para alumni Arafah yang setiap tahun bertambah ratusan ribu jumlahnya, khususnya di Indonesia, mempunyai efek positif dalam dirinya menghayati nilai-nilai Arafah yang telah dirainya ? Apakah titel haji yang diperolehnya mampu menjadi penggerak yang efektif untuk mengurangi kebobrokan moral khususnya sifat korup yang mewabah di seluruh lapisan masyarakat ?.
Sebab itu perlu kita segarkan kembali nilai-nilai yang terlindung di balik wuquf di Arafah.
Hikmah ibadah sebelumnya :
Menurut seorang Hukama’ :
1. Ketika anda memulai miqat pada permulaan ihram, dengan segala senang hati anda mulai menanggalkan pakaian kebesaran, jabatan dan titel yang banyak, kemudian anda menggantinya dengan pakaian putih-putih bersih tanpa berjahit bagi pria. Ini melambangkan bahwa dalam menghadap Allah pakaian anda sama dengan pakaian kafan. Artinya, seorang hamba harus bersih yang didahului dengan mandi sekujur tubuh dan berwudhu.
Dengan pakaian seragam putih-putih itu, juga menandakan bahwa perbedaan partai, pendapat dan perselisihan serta status, hendaknya dibuang jauh-jauh, sehingga secara psikologis kita semua dapat merasakan adanya persaudaraan dan persamaan. Dirasakan pula pembauran antara yang berkulit hitam atau putih, antara yang mancung dan pesek, dan antara yang berbadan kekar dengan yang kecil dan lemah, seperti umumnya orang-orang Asia.
Artinya, ukhuwah Islamiyah lebih menonjol dalam larutan, dari wathaniah (kebangsaan) yang hanya menjadi identitas kloter ketika belum berpakaian ihram. Pakaian ihram ketika mulai dikenakan pada waktu miqat bukan hanya larangan berbuat cabul, bertengkar atau berbuat dosa, tetapi juga untuk dilarang merusak lingkungan hidup, yang menyebabkan seseorang dapat di denda yang besar apabila seseorang membunuh hewan atau menebang pohon. Disinilah dapat terlihat betapa besarnya perhatian agama terhadap lingkungan hidup.
2.Thawaf yang artinya berkeliling di Ka’bah bersama puluhan ribu manusia, memberikan gambaran meleburnya manusia menuju hadirat Ilahi, mempunyai tujuan sama, larut dalam pelukan Tuhan, fana seperti digambarkan kaum sufi. Dengan thawaf bersama, manusia menjadi sadar bahwa bagaimanapun lamanya berkeliling ke mana-mana, mencari dan mencari, akhirnya tiba kepada titik kulminasi, bahwa akhirnya Tuhanlah tempat bergantung, Tuhanlah tempat meminta rezeki, Tuhanlah tempat memohon ampun, atas segala dosa-dosa yang dilakukan selama masih di tanah air.
3.Ketika melempar jumrah dengan suatu keyakinan untuk membuang segala pengaruh nafsu yang ingin menggiring manusia ke dalam lembah dosa. Kita sadar bahwa segala yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat dosa harus kita lawan dan halau sekalipun berbentuk harta, pangkat atau wanita.Bahkan untuk melengkapi pelemparan jumrah,kita harus lanjutkan dengan menyembelih hewan qurban untuk membunuh segala sifat-sifat kebinatangan. Menyembelih sifat hewan yang ada pada manusia seperti sifat serigala yang melambangkan kekejaman, sifat tikus yang melambangkan kelicikan dan korupsi, sifat anjing yang melambangkan tipu daya dan sifat domba yang selalu melambangkan kepada penghambaan.
Kalau kita menyadari betapa pentingnya menyembelih sifat-sifat hewan itu, maka batu yang kita pakai melempar jumrah adalah yang dipungut di Muzdalifah pada saat tengah malam. Artinya senjata kita harus menjadi rahasia bagi musuh agar dia tidak melawan dengan senjata yang sama.
Padang Mahsyar :
Khusus wuquf di Arafah yang merupakan puncak acara hari “ H “ adalah melambangkan padang Mahsyar di hari kiamat. Padang Mahsyar di hari kiamat merupakan tempat berkumpul setelah bangkit dari kubur. Dipadang Mahsyar itulah seorang manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Tuhan selama hidup di dunia. Perbuatan baik dan ikhlas akan dibalas dengan yang baik, perbuatan buruk akan dibalas dengan yang buruk pula (In khairan fa khairun, wain syarran fa syarrun). Semua keputusan pengadilan dunia batal, dan tidak ada lagi orang yang dapat disogok.
Doa yang berulang-ulang dibaca ketika wuquf antara lain : Ya Allah jadikanlah cahaya terang di kalbuku, di pendengaranku, di penglihatanku, di lidahku. Ya Allah, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku. Ya Allah pencipta bumi dan langit, janganlah Engkau jadikan aku setelah berdoa kepada-Mu, malah bertambah sial dan celaka, lantaran bertambah gila kepada harta dan pangkat, yang menyebabkan aku bertambah banyak berbuat dosa kepadaMu. Ampunilah aku, supaya perhitungan amalku di padang mahsyar timbangan kebaikannya lebih banyak. Aku tobat, aku sadar, aku hayati nilai Arafah yang miniatur mahsyar. Amin Ya Rabbal alamin.
No comments:
Post a Comment