Saturday, November 10, 2007

Etika kepada Umara

Sejak Indonesia merdeka, kita telah memiliki lima Presiden (Umara). Kehadiran kelima Presiden itu bervariasi. Ada beberapa tahun kita rasakan sedikit ketenangan, namun terbanyak ketidak tenteraman.Yang paling besar ketidak tenteraman itu, ketika diantara mereka ada yang condong bertindak otoriter dan menyuburkan KKN. Sebab itu perlu kita segarkan kembali terutama karena mulai ramai bursa Umara, bagaiman etika muslim terhadap Umara ?

Umara’ berasal dari Bahasa Arab “ Amr “, jamaknya “Umara’ ”. Amr artinya perintah. Bahasa Alqurannya “ Ulil Amr “,( orang yang mempunyai wewenang untuk memerintah). Ulil Amri (Umara), sama dalam Bahasa Indonesia dengan istilah penguasa atau pejabat, seperti Presiden, Raja, Sultan, Amir dan Gubernur,

Dalam Alquran:
Dalam Alquran, hanya terdapat dua ayat yang secara ekspelisit menyebut “Ulil Amr”, sedang yang menyebut kata “Amr” saja, banyak, misalnya :

(l) “ Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya, mendirikan salat, sedang amr (urusan) mereka, diputuskan dengan musyawarah”. (QS. 42:38).

(2) “ Lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku amri (urusanku)”. (QS. 2O:25-26).

(3) “ Sesungguhnya amruhu (perintahNya), apabila menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya :”Jadilah !”, maka jadilah (Kun fayakun)”. (QS.36:82).

Dari tiga ayat tersebut, terlihat artinya yang bervariasi. Pertama, urusan apa saja di dilakukan manusia di dunia. Kedua, khusus urusan dakwah yang dilakukan Nabi Musa AS, menghadapi Fir’aun. Dan ketiga, perintah dari Tuhan sendiri, jika hendak menciptakan sesuatu, cukup dengan kata “ Kun ! ”

Mengenai “Ulil Amri” yang dalam arti utamanya penguasa yakni Umara’ dalam Alquran, hanya ada dua ayat :

(l) “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan “Ulil Amri” diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS.4:59).

(2) “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan “Ulil Amri”, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya, akan dapat mengetahui dari mereka” (Rasul dan Ulil Amri) .(QS.4:89).

Pendapat mufassir :
(l) Ibnu Katsir : Yang dimaksud Ulil Amri ada dua, yaitu “Ulama dan Umara”, karena banyak didukung ayat lain, bahwa yang mampu menjawab permasalahan, hanyalah mereka, sesudah Alquran dan Sunah, misalnya “Fas-alu ahl al-zikri” (Tanyalah yang ahli (ulama). Akan tetapi Umara yang wajib ditaati hanyalah umara yang memerintahkan berbuat makruf. Umara yang memerintahkan berbuat munkar, haram hukumnya ditaati, sesuai Hadis “La tha’ata li makhluq fi ma’shiyat Allah” (HR.Muslim) (Lihat: Juz I:5l8).

(2) Al-Thabathabaiy : Yang dimaksud taat kepada Allah, artinya dalam menyelesaikan kemelut dunia, diperlukan kembali kepada Alquran, karena Alquran diturunnkan untuk “ litahkum bayn al-Nas “ (menjadi juru solusi yang diperselisihkan diantara manusia). Demikian ketaatan kepada Rasul (Sunah) “Liyutha’ a bi iznillah “(kehadiran Rasul harus ditaati apa yang dibawanya). Mengenai pengulangan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dimaksudkan ketaatan kepada keduanya adalah satu. Karena hakikat taat kepada Rasul, juga karena perintah Allah.

Demikian ketaatan kepada Umara, sebenarnya juga bagian dari ketaatan kepada Allah, jika “Ulil Amri” adalah Imam dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Disamping itu ketaatan kepada “Ulil Amri”, Alquran tidak menyebut kalimat kecuali, seperti pernyataan “Taat kepada orangtua”, dikecualikan jika orangtua menyuruh berbuat musyrik kepada Allah, maka orangtua tidak wajib ditaati. Pada ayat “Ulil Amri” diatas, tidak ada lafaz kecuali, berarti mutlak ditaati. (Al-Mizan IV :395)

(3) Mufasir lain memahami, bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul, punya perbedaan dengan ketaatan kepada Umara. Alasan pertama, Alquran hanya menyebut dua kali kata “Taat”, kepada Allah dan Rasul dan tidak menyebutnya waktu berbicara tentang “Ulil Amri”. Alasan kedua, karena Hadis Muslim, yang menjelaskan “La tha’ata li makhluq fiy ma’shiyat al-Khaliq” (Tidak boleh mentaati seorang makhluk jika diperintahkan berbuat maksiat kepada Allah). Menurut penulis, inilah penafsiran yang lebih kuat, karena didukung ayat bahwa orangtua sendiri tidak boleh ditaati, manakala mesyuruh berbuat musyrik, apalagi orang lain.

Mufasir lain memperluas penafsiran “Ulil Amri” , tidak terbatas hanya Penguasa dan Ulama.
Dalam buku “Min akhlaq al-‘ulama”, dikatakan: “ Athi’ sadataka wakubaraa qawmaka “ (Taatilah pemimpinmu dan orang-orang besarmu). Sebab itu “Ulil Amri” termasuk :

(l) Pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar dari kalangan masyarakat, seperti Rektor, Kepala Sekolah dan Pemimpin Kantor.

(2) Para Ulama, baik Ilmu Kawniah atau Quraniah, asal orangnya takut(khasy-yah) kepada Allah dan berserah diri dalam setiap masalah (istislam).

(3) Pemimpin-pemimpin dalam ketentaraan, mulai dari tingkat regu sampai batalion, demikian wakil-wakil rakyat dalam Ahl al Halli wa al ’Aqdi (Semacam DPR dan MPR).

(4) Yang memimpin perekonomian negara, budaya dan sosial.

(5) Dan seluruh pimpinan organisasi kemasyarakatan. Termasuk pemimpin kecil dalam rumah tangga sekalipun hanya terdiri dari seorang isteri, anak dan pembantu.

Ini dapat dipahami, secara umum banyak pemimpin, namun secara khusus “Ulil Amri” itu terutama “Penguasa, Ulama dan Legislator.

Alhasil, etika terhadap Umara :
(l) Seorang muslim wajib mentaati Umara, sama wajibnya mentaati Allah dan Rasul, selama umara itu, tetap taat kepada Allah dan Rasul.

(2) Jika seorang Umara berbuat munkar, wajib hukumnya ditegur, dengan kalimat sopan (Qawlan layyina), seperti pesan Allah kepada Musa menegur Fir’aun.

(3) Jika berulang-ulang umara ditegur, lalu tidak mau mengubah , maka wajib hukumnya diganti, karena disamakan tatacara dalam salat antara Imam dan Makmum, karena akibatnya dapat merusak berjamaah (Orang banyak).

Semoga kita memperoleh Umara yang kuat dan jujur.


No comments: