Friday, November 16, 2007

Syukur Membawa Ketentraman Hati

Seorang teman kecewa, gelisah dan jengkel, karena tidak terpilih lagi menjadi caleg.Seolah-olah menjadi caleg itu segala-galanya.(Astagfirullah !).Nabi Muhammad mengajarkan Akidah 13 tahun di Mekah sedang Ibadah, Muamalah (Kesejahteraan) dan Akhlak hanya 1O tahun di Medinah. Artinya, kalau akidah seseorang selalu mantap yang lainnya misalnya gagal jabatan bukan problem. Karena telah menyadari bahwa rezeki (termasuk jabatan) adalah urusan Tuhan. Dan untuk mengingatnya selalu dianjurkan musalli setiap selesai salat Subuh- Magrib membaca wirid agar akidah tetap mantap, Tu’til mulka man tasya’ wa tanzi’ul mulka min man tasya’ wa tu’izzu man tasya’ wa tudzillu man tasya’u biyadik al khayr innaka ‘ala kulli syaiin qadir (Hanya Engkaulah yang mampu memberi kekuasaan (jabatan) kepada yang Engkau kehendaki, mencabut kembali kekuasaan kepada yang Engkau kehendaki, memberi kemuliaan kepada yang Engkau kehendaki, dan menurunkan derajat kemuliaan kepada yang Engkau kehendaki, dan hanya ditanganMulah segala kebaikan sesungguhnya segala kekuasaan berada di tanganMu).

Wirid tersebut jika dibaca dan dihayati maknanya, maka seorang muslim tidak akan mungkin gelisah dan kecewa jika berhenti dari suatu jabatan atau tidak terpilih jadi caleg. Sekalipun telah menghabiskan biaya jutaan rupiah. Karena hal tersebut adalah hak pererogatif Tuhan. Rezeki (termasuk jabatan) dan ajal adalah ketentuan Tuhan. Manusia hanya berikhtiar.Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.

Dan jika berhenti dari suatu jabatan dianggap suatu musibah, etika Islam dianjurkan agar mengucapkan Inna Lillah wainna ilaihi raji’un (Kita semua adalah kepunyaan Allah…),sekalipun bukan kematian. Kemudian sesudah Inna Lillah, kita lanjutkan menjadi Alhamdu Lillah, syukur karena nikmat yang lain masih ada uang pensiun, kendaraan dan rumah serta anak sudah sarjana.

Agar akidah tetap mantap kita segarkan makna syukur menurut Alquran.

Makna:
Menurut Kamus Besar syukur berarti (1) Terima kasih kepada Allah (2) Menyatakan lega,senang dan sebagainya.Sedang asalnya yang dari Bahasa Arab oleh Ibnu Faris ada 4 (1) Pujian karena baikan diperoleh (2) Sesuatu yang penuh atau yang lebat seperti pohon yang subur (3) Sesuatu yang tumbuh di batang pohon (parasit) (4) Pernikahan, atau alat kelamin.
Dari pengertian tersebut dipahami bahwa syukur itu gambaran adanya sesuatu kepuasan yang di peroleh atau bertambah sesuatu yang sedikit menjadi banyak.Misalnya waktu belum kawin masih sendirian, kemudian sesudah kawin menjadi dua, sesudah melahirkan bertambah anak dan seterusnya.

Berbeda dengan Al-Asfahani bahwa makna syukur ialah menampakkan nikmat ke permukaan. Lawannya kafara (kufur) yang berarti menutup-nutupi. Ini sesuai ayat Alquran yang sudah populer “ Lain syakartum Laazidannakum…” (Jika kamu bersyukur (menampakkan nikmat misalnya bersedekah) niscaya akan Kutambah, dan bila kamu kufur (menyembunyikan nikmat dengan kikir) maka ingatlah sesungguhnya siksaanKu amatlah pedihnya (QS.127:4O).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa nikmat yang diberikan Tuhan, hendaklah ditampakkan kepada manusia berupa memberikan sebagiannya kepada yang miskin. Diwaktu longgar dan sempit .Manakala dilakukan, pasti bertambah karena otomatis telah berpindah pemanfaatannya kepada yang diridaiNya. Misalnya kepada bidang sosial yang lebih membutuhkan. Tapi kalau sebaliknya jika hanya ditutupi atau dimanfaatkan sendiri, maka Tuhan memperingati bahwa siksaan Tuhan sangatlah pedih.

Mensyukuri nikmat misalnya jabatan bagi pejabat, hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meringankan beban masyarakat khususnya kepada kebutuhan manusia yang lebih mendesak, yaitu mustad’afin. Dan jika jabatan itu berakhir karena memang ada batasnya, hendaklah kita ingat bahwa telah pernah memperoleh jabatan lain beberapa kali, sementara orang lain biar sekalipun tidak pernah merasakannya. Lagi pula jika mencintai jabatan karena ujung-ujungnya adalah fasilitas nikmat berupa rezeki bertambah, seorang muslim hendaknya menyadari bahwa rezeki masih terdapat di tempat lain, selama badan manusia berfungsi pernnafasannya.

Menyebut nikmat:
Dalam salah satu ayat kita dianjurkan selalu menyebut-nyebut nikmat yang diberikan Allah dan bukan hanya menceriterakan kegagalan. “ Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebutnya “ (QS.93:11)

Ayat tersebut menghendaki agar manusia tidak bosan-bosan menceriterakan betapa banyaknya nikmat yang diberikan Tuhan. Alquran menyebutnya “Latuhsuha” (Kamu tidak mampu menghitung banyaknya). Ini dimaksudkan kalau yang lain dicabut masih ada yang lain.Seperti teman yang masih punya rumah, kendaraan roda empat dan anak sudah sarjana. Apalagi. ?. Ibadah ditambah. Sudah tua.

Wajarlah jika Tuhan menyebut “ Waqalilun min ‘ibadiyassyukur “ (Sangat sedikit dari hambahku yang bersyukur).

Tapi dalam menyebut-nyebut nikmat itu, bukan berarti kita harus ceriterakan semua nikmat sehingga terkesan riya dan sombong, seperti jika berbicara selalu berusaha agar pembicaraan itu diarahkan agar contoh-contoh yang dikemukakan selalu yang ada hubungannya pengalannya ke luar negeri, padahal ada pengalaman yang sama di dalam negeri. Hal itu ada bahayanya jika diitrupsi, tanya !.Bisa jadi kecewa.

Agar kita tidak salah kaprah yang harus diceriterakan itu kita lihat pendapat ahli tafsir:

(1) Al-Zamakhsyari, yang dimaksud ceriterakan nikmat yakni merasakan kepuasan, karena sebelumnya pernah terasa sempit, lalu longgar, kemudian kalau sempit lagi tapi tidak sesempit dahulul lagi.

(2) Al-Qurtubi, yang diceriterakan boleh nikmat yang bentuknya materi tapi bukan riya (membanggakan), dan boleh juga yang immaterial seperti pelaksanaan ibadah, seperti pernyataan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, kebaikan apa saja yang kamu amalkan boleh ceriterakanlah kepada saudaramu yang engkau percayai. Misalnya alhamdulillah sudah lancar Tahajjud dan puasa Senin-Kamis.

(3) Jumhur mufasir, sebenarnya yang diperintahkan menceriterakan nikmat Tuhan dalam ayat diatas terutama nikmat agama Islam, hendaknya dakwah dikembangkan terus ke mana-mana. Menceriterakan hakikatnya Rahmat lil ‘alamin dan bukan datang untuk mempersulit orang.

Yang memperkuat argumentasi penafsiran syukur tertutama masalah agama, karena ada korelasi petunjuk Ilahi pada ayat-ayat terakhir menyatakan :

(1) Nabi yang tadinya yatim kemudian dianugerahi pelindung, dituntut tidak berlaku sewenang-wenang kepada anak-anak yatim.

(2) Nabi yang tadinya bingung, kemana petunjuk yang benar, lalu ditegaskan agama itu sebagai petunjuk.

(3) Nabi yang mulanya tidak berkecukupan, kemudian berkecukupan lalu bersyukur dan tidak menghardik peminta-minta.

Dengan keterangan petunjuk keagamaan yang secara lisan itu kita dapat yakini bahwa semuanya adalah dalam rangka menceriterakan terutama pengamalan agama sebagai anugerah nikmat yang paling besar. Artinya berceritera dalam rangka dakwah dianjurkan,seperti mengeluarkan zakat setahun sekali terang-terangan, tapi memberikan sadakah setiap hari (sewaktu-waktu) hendaknya disembunyikan untuk menghindari keriya’an.
Akhirnya seorang muslim jika menganggap jabatan musibah lantaran ditinggalkan atau tidak terpilih lagi kaifiatnya mengucapkan Inna lillah, tetapi hendaknya diteruskan dengan ucapan syukur alhamdulillah karena masih ada nikmat lain serta berkurangnya lagi satu amanah dan tanggung jawab akhirat. Kalau teman yang gagal menjadi caleg, berakidah seperti itu maka syukur pasti memberikan ketenteraman batin.

H. Mochtar Husein

3 comments:

Unknown said...

Terimakasih atas pencerahannya. Saya copy ya Pak untuk disebarluaskan..

Ichsan Alamsyah

Anonymous said...

Gak salah tuh ayatnya???? "Berbeda dengan Al-Asfahani bahwa makna syukur ialah menampakkan nikmat ke permukaan. Lawannya kafara (kufur) yang berarti menutup-nutupi. Ini sesuai ayat Alquran yang sudah populer “ Lain syakartum Laazidannakum…” (Jika kamu bersyukur (menampakkan nikmat misalnya bersedekah) niscaya akan Kutambah, dan bila kamu kufur (menyembunyikan nikmat dengan kikir) maka ingatlah sesungguhnya siksaanKu amatlah pedihnya (QS.127:4O)." bukane Q.S Ibrahim 7... ayat 14:7 mohon diperbaiki lagi... agar tidak menyesatkan... terimakasih

Adli said...

Al-Quran cuma 114 surat, tidak ada surat 127......