Akhir-akhir ini marak kembali pendapat dan fatwa yang kontradiktif tentang kepemimpinan wanita khususnya untuk menjadi Presiden. Penyelesaiannya tidak rumit jika kita menggali sumber hukum pertama yakni Alquran. Apalagi jika menyelami makna hakikatnya dengan menggunakan metode Tafsir Maudhu’I. Karena menyelesaikan perselisihan hanya satu metodenya yaitu kembali ke Alquran, kemudian Hadis dan terakhir barulah pendapat ulama, kalau keduanya belum jelas (Lihat QS. ) dan (Hadis Mu’az bin Jabal), ketika Nabi memerintahkan berangkat ke Yaman menjadi Hakim. Tapi kalau sesuatu itu tendensinya strategi politik untuk menghambat saingan yang wanita, maka pasti yang berlaku bukan lagi mencari mana yang lebih tepat pemahannya sesuai Alquran. Hal ini memang dilemmatis karena sejak dahulu, Imam Mazhab seperti Imam Hanafie sudah berbeda pendapatnya dengan Imam Syafei. Yang satu menyatakan hukumnya Mubah (Dibolehkan) dan yang kedua menyatakan hukumnya Haram ( Dilarang ).Karena Ormas NU bermazhab salah satu dari 4 Mazhab, maka tentu wajar jika ada yang menilainya haram, tapi ada pula yang menilainya mubah (Dibolehkan).
Dengan penuh kerendahan hati, penulis mencoba membahasnya berdasarkan metode Tafsir Mudhu’I (Tematik), tanpa berkiblat pada mazhab atau tendensi politik.
Ayat yang menjadi dasar pembahasan ialah Alquran Surah Al-Nisa’ 34 : “AL RIJALU QAWWAMUNA ‘ALA AL-NISA’ BIMA FADHDHALALLAHU BA’DHAHUM ‘ALA BA’DHIN …( Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)…( Lihat Tafsir Depag halaman 123 ).
Berdasarkan ayat dan terjemahan seperti itu, maka sebagian ulama menganggap haram hukumnya jika dibalik, yakni perempuan memimpin laki-laki. Lalu dibantu sebuah Hadis yang menyatakan celakalah raja itu (salah seorang kerajaan Romawi ) yang mengangkat anaknya yang perempuan menjadi penggantinya. Kemudian lebih diperkuat lagi karena tidak ada seorangpun Nabi yang berjenis wanita. Demikian Khulafa al-Rasyidin semuanya laki-laki. Bahkan dalam Ilmu Fikih tidak sah salat jamaah imamnya seorang wanita dan makmumnya adalah laki-laki.Itulah antara lain alasan yang mengharamkan.
Pembahasan Tafsir:
Kelemahan terjemahan Tafsir diatas , karena “ Al-Rijalu qawwamuna ” ditafsirkan dengan “ Pemimpin” . Padahal di ayat lain “ Qawwamuna ” tidak berarti pemimpin. Seperti pada Surah Al-Nisa 123 “ Ya ayyuhalladzina amanu kunu qawwamina bi al qisthi syuhada-a lillah…(Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar jadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah …). ( Depag 144 ). Demikian pada Surah al-Maidah 8 “ Ya ayyuhalladzina amanu kunu qawwamina bi al qisthi syuhada-a lillah…(Wahai orang-orang yang beriman , hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil…)( Depag 159 ).
Dengan perbandingan kedua ayat lain tersebut maka pengertiannya menjadi mutasyabihat (ragu-ragu). Pengertian ragu-ragu tidak lagi menjadi Qath’I (Pasti).
Adapun pengertian yang sebenarnya “ Qawwamuna atau Qawwamina” yang berakar dari kata “ Qawama ” adalah mengawasi terus menerus dan mempertanggung jawabkan. Sama dengan makna “Aqim al- shalat” (Didirikan salat) yang juga berasal dari kata Qawama, yaitu laksana induk ayam yang setiap hari mengawasi dan mempertanggung jawabkan anaknya. Dalam hubungannya dengan salat dimaksudkan yaitu tanggung jawab yang dilaksanakan dengan cara rutin, khusyu’ dan bertanggung jawab) ( Diuraikan panjang lebar dalam Tafsir Al-Qurtubi ).
Jadi yang paling tepat makna “Qawwamuna” pada surah Al-Nisa 34 diatas adalah Penanggung jawab. (Bukan pemimpin). Ahli Tafsir Prof.Quraish Shihab sendiri, sudah pernah mengatakan, masih ada beberapa penafsiran Tafsir Departemen Agama yang perlu disempurnakan.terjemahannya. Menurut penulis mungkin termasuk ayat ini.
Makna Pemimpin dalam Alquran:
Dalam Bahasa Arab termasuk yang digunakan Alquran pemimpin itu disebut Imam (selalu di depan) atau Khalifah (Dibelakang maju ke depan menjadi pengganti). Ditambah lagi bahwa konteks ayat Surah Al-Nisa’ 34 diatas, asbab nuzulnya, mengenai keluarga didalam rumah tangga bahwa yang bertanggung jawab dan mencari rezeki adalah suami (laki-laki). Jadi ulama yang menganggap haram terutama terpaku pada hadis Nabi yang mencela seorang Raja Rumawi yang mengangkat anak wanitanya menjadi penggantinya. Padahal hadis tersebut gga memimpin juga masih diperselihkan syarahannya. Apakah hadis itu bersifat lokal situasi Arab raja non muslim yang mengangkat anak wanitanya pengganti dirinya atau universal berlaku sampai sekarang. Karena dalam Hadis ada kalanya hadis itu konteksnya lokal dan tidak selalu universal. Disinilah perbedaannya dengan Alquran.
Adapun yang memperkuat pendapat sebagian ulama yang mengharamkan wanita memimpin negara, disamping mengakui penafsiran tanggung jawab itu sama dengan pemimpin dalam rumah tangga, karena negara adalah rumah tangga besar, juga diperkuat argumentasi lanjutan ayat yang menyatakan “ Faddhalallahu ba’dhahum’ ala ba’dhin (Tuhan telah memberikan kelebihan (laki-laki) terhadap sebagiannya (wanita).
Kitab-kitab Tafsir :
(1) Tafsir Al-Baidhawi : Kelebihan kaum laki-laki dari kaum wanita karena “ Kamal al ‘aqli (akalnya lebih sempurna), Husn al tadbir (Kemampuan mengatur dan mengendalikan sesuatu gejolak ), Mazid al quwwah fi al a’mal wa al t ha’ah ( Lebih kuat mengerjakan pekerjaan dan ketaatan). Sebab itu kenabian dan kepemimpinan umat khusus dipilih dari kalangan kaum laki-laki-laki saja ( Khashshun bi al-nubuwwah wa al-imamah). (Lihat Juz I : 213)
(2) Tafsir Aysar Tafasir : Tuhan memberikan kemampuan laki-laki untuk memimpin karena diberi akal yang sempurna, mampu melaksanakan kelengkapan agama seperti berkhutbah, memimpin Jumat dan Jihad dengan postur tubuh yang meyakinkan bertarung pisik. ( Juz I :472 ).
(3) Tafsir Majma’ Al-Bayan : Kelebihan yang diberikan Allah kepada kaum laki-laki ialah penambahan ilmu dan pikiran rational yang lebih baik serta mampu mempertahankan pendirian ( Juz IV :43).
(4) Tafsir Al-Mizan : Yang dimaksud Qawwamuna ialah mampu mengendalikan dan mempertanggung jawabkan amanah terutama diberikan kepada kaum laki-laki sesuai ayat diatas, dengan bertambahnya kekuatan pisik dan kemampuan akal serta mampu menghadapi kesulitan dahsyat. Sedang kaum wanita memang diciptakan dengan bentuk badan yang halus, cantik dan perasa, sehingga tidak semua pekerjaan dapat dilakukannya dengan maksimal ( Juz IV :351 ).
Dari keempat uraian Tafsir tersebut, kita terpaksa harus akui seorang laki-laki, akan lebih mampu bertanggung jawab jika memimpin wilayah atau pertempuran jika dibutuhkan.
Pemimpin yang diinginkan Alquran :
Sebenarnya pemimpin yang disebut Alquran berarti Imam ( Didepan sebagai teladan ) dan Khalifah ( Dibelakang maju ke depan sebagai pengganti). Jadi sama sekali bukan “ Qawwamuna “ seperti Surah Al-Nisa 34 diatas.
Didalam Alquran hanya ada 7 ayat mengenai Imam. Salah satu diantaranya “INNI JA’ILUKA LINNASI IMAMAN “ (Aku angkat engkau (Ibrahim) menjadi pemimpin bagi manusia ) (QS.Al-Baqarah 124). Ibrahim memohon, juga keturunanku. Tapi Tuhan menjawab “LA YANALU AHDIZZHALIMIN “(Janjiku ini tidak kutujukan kepada orang yang suka berbuat zalim.
Selanjutnya istilah Khalifah yang juga berarti pemimpin menurut Alquran, diantaranya : “Wahai Dawud, Kami (Tuhan) telah menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan suatu perkara dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu. (QS. 38 :25).
Adapun tugas utama seorang pemimpin yang memimpin wilayah, Alquran secara umum menyatakan “ Orang-orang yang Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan munkar…)QS.22:41).
Berdasarkan ayat tersebut, maka seorang pemimpin wilayah, minimal mampu melakukan salat lima waktu yang rutin sebagai hubungan dengan Allah, mampu mengeluarkan sebagian hartanya berupsa zakat, sadakah dan infak, sebagai gambaran keharmonisan hubungan dengan manusia dan mampu mengendalikan perintah kepada yang makruf untuk kesejahteraan negara serta mampu menegakkan yang benar dengan menghukum kaum pembuat munkar (maksiat) termasuk koruptor.
Artinya seorang pemimpin wilayah diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola wilayah, menyeimbangkan kehidupan yang harmonis, memelihara harta, agama, akal dan budaya.
Akhirnya berdasarkan pembahasan metode Maudhu’I, maka makna ayat tersebut diatas tidak menghalangi seorang perempuan tampil menjadi Presiden, apalagi jika dipilih mayoritas masyarakat, asal orangnya jujur, taat agama, mengutamakan kepentingan rakyat kecil serta siap menghukum ahli-ahli maksiat tanpa pilih bulu. Artinya, dari ayat yang dibahas, tidak ditemukan adanya larangan pemimpin wanita. (hukumnya mubah)
Tapi menurut hemat penulis, berdasarkan kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kaum laki-laki, bagaimanapun hebatnya seorang wanita, maka kaum laki-laki masih lebih afdhal dipilih. Hal ini tidak terpengaruh tendensi politik dan istilah the will to power. (Wallahu a’lam Bi al-shawab).
H. Mochtar Husein